Kamis, 29 Desember 2011

PENGARUH KEBUDAYAAN JAWA TIMUR TERHADAP POLA ASUH

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Budaya Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesa yang didalam tradisinya memiliki nilai-nilai keluhuran dan kearifan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa memiliki arti dan makna filosofis yang mendalam dan luhur, yang mana tradisi ini sudah ada sejak zaman kuno saat kepercayaan masyarakat jawa masih animisme-dinamisme dan tradisi-tradisi Jawa ini semakin berkembang dan mengalami perubahan-perubahan seiring masuknya agama Hindu-Budha hingga Islam ke tanah Jawa. Menurut Piotr Sztompka, dalam arti sempit tradisi adaah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Kemunculan dan perubahan tradisi tersebut juga terjadi dalam tradisi Jawa, proses perubahan tradisi terjadi seperti berputarnya suatu roda yang kadang diatas dan kadang dibawah dan kadang muncul dan suatu saat timbul kembali sesuai dengan siklusnya. Menurut Suparman mengatakan “Suatu tradisi akan muncul dan tenggelam dikarenakan adanya dua faktor penyebab, yaitu faktor intern seperti kurangnya kesadaran dalam memelestarikan budaya dan faktor ekstern seperti adanya pengaruh budaya asing yang bertolak belakang dengan kebudayaan bangsa”. Dari tradisi-tradisi Jawa ini dapat diperoleh berbagai manfaat dan kegunaan kebudayaaan dimana budaya Jawa adalah budaya sarat dengan simbol-simbol yang dalam setiap simbolis-simbolnya memiliki makna leksikal maupun makna sense yang disebut piwulang kebecikan (ajaran kebaikan). Piwulang kebecikan inilah yang mengantarkan masyarakat Jawa pada sangkan paraning dumadi (arah tujuan hidupnya) yaitu menggapai hidup bahagia dunia dan akhirat (Suwardi, 2009).
Pengasuhan anak dilakukan dengan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan bentuk bentuk perilaku social anak. Pola asuh yang diberikan pada anak berbeda beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh dua factor yaitu factor internal dan eksternal. Yang termasuk factor internal adalah latar belakang keluarganya, factor usia orang tua dan anak, pendidikan dan wawasan orang tuanya, jenis kelamin orangtua dan anak, dan konsep peranan orangtua dalam keluarga. Faktor eksternal terdiri dari tradisi yang berlaku dalam lingkungannya, social ekonomi lingkungan dan semua hal yang berasal dari luar keluarga tersebut yang bisa mempengaruhi keluarga tersebut dalam menerapkan pola asuh, Menurut Riyanto (2002) Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh kembangkan kepribadian anak.

2. Fenomena Yang Terjadi
Budaya Jawa saat ini semakin terdesak oleh arus perkembangan zaman atau globalisasi, perubahan masyarakat Jawa juga terjadi sangat signifikan dari perubahan pola bahasa hingga tingkah laku, dan pola asuh terhadap anak . Jamaris (2005) berpendapat bahwa karakter dan integritas perkembangan anak terbentuk pertama-tama di lingkungan keluarga. Di lingkungan kecil itulah individu mengenal dan belajar tentang berbagai tata nilai melalui pendidikan yang diberikan, tata nilai akan ditumbuhkembangkan agar yang bersangkutan siap memasuki dunia nyata di luar kehidupan keluarga.

3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami dan mengetahui bagaimana gambaran mengenai pengaruh budaya yang dianut khusunya jawa timur terhadap pola asuh anak dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi budaya terhadap pola asuh yang diterapkan.
4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif. Metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Bogdan & Taylor, 1975). Prof.Dr. Lexy J. Moleong menyimpulkan penelitian kualitatif adalah "penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah."






5. Umum Khusus
Dalam penelitian ini menggunakan bahasan dari umum ke khusus. Penelitian ini akan menjabarkan secara umum tentang pola asuh yang dipengaruhi oleh budaya khusunya budaya jawa timur.Pola asuh akan dijabarkan secara keseluruhan setelah itu dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi pola asuh tersebut secara khusus dan spesifik.




























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengaruh

1. Pengertian Pengaruh
Pengertian Pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang (dalam widyatama, 2002,849). Sedangkan menurut Badudu dan Zain , Pengaruh adalah (1) Daya yang menyebabkan sesuatu terjadi, (2) sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain dan (3) tunduk atau mengikuti karena kuasa atau kekuatan orang lain (dalam Widyatama,1994,1031).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain.

B. Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
C. Jawa Timur
1. Pengertian Jawa Timur
Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Ibukotanya adalah Surabaya. Luas wilayahnya 47.922 km², dan jumlah penduduknya 37.070.731 jiwa (2005). Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera Hindia(Pulau Sempu dan Nusa Barung).
a. Kesenian
Jawa Timur memiliki sejumlah kesenian khas. Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Berbeda dengan ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk menceritakan kehidupan sehari-hari rakyat jelata, yang seringkali dibumbui dengan humor dan kritik sosial, dan umumnya dibuka dengan Tari Remo dan parikan. Saat ini kelompok ludruk tradisional dapat dijumpai di daerah Surabaya, Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya semakin dikalahkan dengan modernisasi.
Reog yang sempat diklaim sebagai tarian dari Malaysia merupakan kesenian khas Ponorogo yang telah dipatenkan sejak tahun 2001, reog kini juga menjadi icon kesenian Jawa Timur. Pementasan reog disertai dengan jaran kepang (kuda lumping) yang disertai unsur-unsur gaib. Seni terkenal Jawa Timur lainnya antara lain wayang kulit purwa gaya Jawa Timuran, topeng dalang di Madura, dan besutan. Di daerah Mataraman, kesenian Jawa Tengahan seperti ketoprak dan wayang kulit cukup populer. Legenda terkenal dari Jawa Timur antara lain Damarwulan, Angling Darma, dan Sarip Tambak-Oso.Seni tari tradisional di Jawa Timur secara umum dapat dikelompokkan dalam gaya Jawa Tengahan, gaya Jawa Timuran, tarian Jawa gaya Osing, dan trian gaya Madura. Seni tari klasik antara lain tari gambyong, tari srimpi, tari bondan, dan kelana.
Terdapat pula kebudayaan semacam barong sai di Jawa Timur. Kesenian itu ada di dua kabupaten yaitu, Bondowoso dan Jember. Singo Wulung adalah kebudayaan khas Bondowoso. Sedangkan Jember memiliki macan kadhuk. Kedua kesenian itu sudah jarang ditemui.
b. Budaya dan adat istiadat
Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup populer di kawasan ini.
Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini. Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.
Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.
Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih. Masyarakat di pesisir barat: Tuban, Lamongan, Gresik, bahkan Bojonegoro memiliki kebiasaan lumrah keluarga wanita melamar pria, berbeda dengan lazimnya kebiasaan daerah lain di Indonesia, dimana pihak pria melamar wanita. Dan umumnya pria selanjutnya akan masuk ke dalam keluarga wanita. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim donga pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
1. Era klasik
Prasasti Dinoyo yang ditemukan di dekat Kota Malang adalah sumber tertulis tertua di Jawa Timur, yakni bertahun 760. Pada tahun 929, Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, serta mendirikan Wangsa Isyana yang kelak berkembang menjadi Kerajaan Medang, dan sebagai suksesornya adalah Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Janggala, dan Kerajaan Kadiri. Pada masa Kerajaan Singhasari, Raja Kertanagara melakukan ekspansi hingga ke Melayu. Pada era Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk, wilayahnya hingga mencapai Malaka dan Kepulauan Filipina.
Bukti awal masuknya Islam ke Jawa Timur adalah adanya makam nisan di Gresik bertahun 1102, serta sejumlah makam Islam pada kompleks makam Majapahit. Tetapi setelah penemuan munculnya candi Jedong di Daerah Wagir , Malang , Jawa Timur yang diyakini lebih tua dari Prasasti Dinoyo , yakni sekitar abad 6 Masehi.
2. Kolonialisme
Bangsa Portugis adalah bangsa barat yang pertama kali datang di Jawa Timur. Kapal Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman mendarat di Pulau Madura pada tahun 1596. Surabaya jatuh ke tangan VOC pada tanggal 13 Mei 1677. Ketika pemerintahan Stamford Raffles, Jawa Timur untuk pertama kalinya dibagi atas karesidenan, yang berlaku hingga tahun 1964.
Era Kemerdekaan

Kantor gubernur Jawa Timur di Surabaya di tahun 1951
Setelah kemerdekaan Indonesia, Indonesia terbagi menjadi 8 provinsi dan Jawa Timur termasuk salah satu provinsi tersebut. Gubernur pertama Jawa Timur adalah R. Soerjo, yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional.
c. Suku bangsa
Mayoritas penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa, namun demikian, etnisitas di Jawa Timur lebih heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Madura mendiami di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Di sejumlah kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir di seluruh kota di Jawa Timur terdapat minoritas Suku Madura, umumnya mereka bekerja di sektor informal.
Suku Tengger, konon adalah keturunan pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar di Pegunungan Tengger dan sekitarnya. Suku Osing tinggal di sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi. Orang Samin tinggal di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro.
Selain penduduk asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas yang cukup signifikan dan mayoritas di beberapa tempat, diikuti dengan Arab; mereka umumnya tinggal di daerah perkotaan. Suku Bali juga tinggal di sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi. Dewasa ini banyak ekspatriat tinggal di Jawa Timur, terutama di Surabaya dan sejumlah kawasan industri lainnya.
d. Bahasa
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang berlaku secara nasional, namun demikian Bahasa Jawa dituturkan oleh sebagian besar Suku Jawa. Bahasa Jawa yang dituturkan di Jawa Timur memiliki beberapa dialek/logat. Di daerah Mataraman (eks-Karesidenan Madiun dan Kediri), Bahasa Jawa yang dituturkan hampir sama dengan Bahasa Jawa Tengahan (Bahasa Jawa Solo-an). Di daerah pesisir utara bagian barat (Tuban dan Bojonegoro), dialek Bahasa Jawa yang dituturkan mirip dengan yang dituturkan di daerah Blora-Rembang di Jawa Tengah.
Dialek Bahasa Jawa di bagian tengah dan timur dikenal dengan Bahasa Jawa Timuran, yang dianggap bukan Bahasa Jawa baku. Ciri khas Bahasa Jawa Timuran adalah egaliter, blak-blakan, dan seringkali mengabaikan tingkatan bahasa layaknya Bahasa Jawa Baku, sehingga bahasa ini terkesan kasar. Namun demikian, penutur bahasa ini dikenal cukup fanatik dan bangga dengan bahasanya, bahkan merasa lebih akrab. Bahasa Jawa Dialek Surabaya dikenal dengan Boso Suroboyoan. Dialek Bahasa Jawa di Malang umumnya hampir sama dengan Dialek Surabaya. Dibanding dengan bahasa Jawa dialek Mataraman (Ngawi sampai Kediri), bahasa dialek malang termasuk bahasa kasar dengan intonasi yang relatif tinggi. Sebagai contoh, kata makan, jika dalam dialek Mataraman diucapkan dengan 'maem' atau 'dhahar', dalam dialek Malangan diucapkan 'mangan'. Salah satu ciri khas yang membedakan antara bahasa arek Surabaya dengan arek Malang adalah penggunaan bahasa terbalik yang lazim dipakai oleh arek-arek Malang. Bahasa terbalik Malangan sering juga disebut sebagai bahasa walikan atau osob kiwalan. Berdasarkan penelitian Sugeng Pujileksono (2007), kosa kata (vocabulary) bahasa walikan Malangan telah mencapai lebih dari 250 kata. Mulai dari kata benda, kata kerja, kata sifat. Kata-kata tersebut lebih banyak diserap dari bahasa Jawa, Indonesia, sebagian kecil diserap dari bahasa Arab, Cina dan Inggris. Beberapa kata yang diucapkan terbalik, misalnya mobil diucapkan libom, dan polisi diucapkan silup. Produksi bahasa walikan Malangan semakin berkembang pesat seiring dengan munculnya supporter kesebelasan Arema (kini Arema Indonesia)yang sering disebut Aremania. Bahasa-bahasa walikan banyak yang tercipta dari istilah-istilah di kalangan supporter. Seperti retropus elite atau supporter elit. Otruham untuk menyebut supporter dari wilayah Muharto. Saat ini Bahasa Jawa merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat SD hingga SLTA.
Bahasa Madura dituturkan oleh Suku Madura di Madura maupun di mana pun mereka tinggal. Bahasa Madura juga dikenal tingkatan bahasa seperti halnya Bahasa Jawa, yaitu enja-iya (bahasa kasar), engghi-enten (bahasa tengahan), dan engghi-bhunten (bahasa halus). Dialek Sumenep dipandang sebagai dialek yang paling halus, sehingga dijadikan bahasa standar yang diajarkan di sekolah. Di daerah Tapal Kuda, sebagian penduduk menuturkan dalam dua bahasa: Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Kawasan kepulauan di sebelah timur Pulau Madura menggunakan Bahasa Madura dengan dialek tersendiri, bahkan dalam beberapa hal tidak dimengerti oleh penutur Bahasa Madura di Pulau Madura (mutually unintellegible).
Suku Osing di Banyuwangi menuturkan Bahasa Osing. Bahasa Tengger, bahasa sehari-hari yang digunakan oleh Suku Tengger, dianggap lebih dekat dengan Bahasa Jawa Kuna.
Penggunaan bahasa daerah kini mulai dipromosikan kembali. Sejumlah stasiun televisi lokal kembali menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada beberapa acaranya, terutama berita dan talk show, misalnya JTV memiliki program berita menggunakan Boso Suroboyoan, Bahasa Madura, dan Bahasa Jawa Tengahan.

D. Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu .pola. dan .asuh.. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, .pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap Sedangkan kata .asuh dapat berati menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga. ( dalam yusniyah ,Depdikbud,1988). Lebih jelasnya, kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.( dalam yusniyah, Elaine Danelson, 1990).
Menurut Dr. Ahmad Tafsir seperti yang dikutip oleh Danny I. Yatim-Irwanto .Pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (dalam yusniyah, Danny I. Yatim-Irwanto, 1991). Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.

2. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hampir mempunyai persamaan. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Dr. Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke dalam empat macam pola, yaitu:

1. Kasar dan tegas
Orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neurotik menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan di ubah dan mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri dan anak-anak mereka.

2. Baik hati dan tidak tegas
Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-kanakan secara emosional.
3. Kasar dan tidak tegas
Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut biasanya diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berprilaku buruk dan ia bisa memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.
4. Baik hati dan tegas
Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini, mereka membuat suatu batas hanya memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri, tidak pernah si anak atau pribadinya.

Drs. H. Abu Ahmadi mengemukakan bahwa, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research Institute, corak hubungan orang tua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu :

1. Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
2. Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
3. Pola demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisifasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi, sampai batas-batas tertentu, anak dapat berpartisifasi dalam keputusan-keputusan keluarga.

Menurut Elizabet B. Hurlock ada beberapa sikap orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain :
1. Melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebihan.
2. Permisivitas
Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian.
3. Memanjakan
Permisivitas yang berlebih-memanjakan membuat anak egois, menuntut dan sering tiranik.
4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka.
5. Penerimaan
Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak.
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif.
7. Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka dan rumah mereka.
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga.
9. Ambisi orang tua
Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial.

Danny I. Yatim-Irwanto mengemukakan beberapa pola asuh orang tua,
yaitu :
1. Pola asuh otoriter, pola ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi.
2. Pola asuh demokratik, pola ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya.
3. Pola asuh permisif, pola asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya.
4. Pola asuhan dengan ancaman, ancaman atau peringatan yang dengan keras diberikan pada anak akan dirasa sebagai tantangan terhadap otonomi dan pribadinya. Ia akan melanggarnya untuk menunjukkan bahwa ia mempunyai harga diri.
5. Pola asuhan dengan hadiah, yang dimaksud disini adalah jika orang tua mempergunakan hadiah yang bersifat material atau suatu janji ketika menyuruh anak berprilaku seperti yang diinginkan.
Thomas Gordon mengemukakan metode pengelolaan anak, yaitu :
a. Pola asuh menang
b. Pola asuh mengalah
c. Pola asuh tidak menang dan tidak kalah.

Menurut Syamsu Yusuf terdapat 7 macam bentuk pola asuh yaitu :
a. Overprotection ( terlalu melindungi )
b. Permisivienes ( pembolehan )
c. Rejection ( penolakan )
d. Acceptance ( penerimaan )
e. Domination ( dominasi )
f. Submission ( penyerahan )
g. Over disipline ( terlalu disiplin )

Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes mengemukakan empat macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu :
a. Autokratis (otoriter)
Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat di batasi.
b. Demokratis
Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak.
c. Permisif
Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.
d. Laissez faire
Ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya.

Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya akan mengemukakan tiga macam saja, yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan laissez faire. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih terfokus dan jelas. Oleh karena, jika dilihat dari berbagai macam bentuk pola asuh di atas pada intinya hampir sama. Misalnya saja antara pola asuh autokratis, over protection, over discipline. Dominasi, favoritisme, ambisi orang tua dan otoriter, semuanya menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan pola asuh laissez faire, rejection, submission, permisiveness, memanjakan. Secara implisit, kesemuanya itu memperlihatkan suatu sikap yang kurang berwibawa, bebas, acuh tak acuh. Adapun acceptance (penerimaan) bisa termasuk bagian dari pola asuh demokratis. Oleh karena itulah, maka penulis hanya akan membahas tiga macam pola asuh, yang secara teoritis lebih dikenal bila dibandingkan dengan yang lainnya. Yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan laissez faire.

1. Otoriter
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otoriter .berarti berkuasa sendiri dan sewenang-wenang. Menurut Singgih D. Gunarsa dan Ny.Y. Singgih D. Gunarsa, pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri.
Jadi pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak. Serta orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jika anak-anaknya menentang atau membantah, maka ia tak segan-segan memberikan hukuman. Jadi, dalam hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi. Apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan keinginan orang tua. Pada pola asuhan ini akan terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jadi anak melakukan perintah orang tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak.
Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan anak terutama dalam pembentukan kepribadiannya. Karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami Munandar mengemukakan bahwa, .sikap orang tua yang otoriter paling tidak menunjang perkembangan kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak menjadi patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi kurang bebas dan kurang percaya diri Disini perkembangan anak itu semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi temantemannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lamalama ia akan mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.
Karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada, maka setelah dewasapun masih akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan. Ini berarti anak tidak berani memikul tanggung jawab. Adapun ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut :
a. Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.
b. Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya.
c. Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak.
d. Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang.
e. Orang tua cenderung memaksakan disiplin.
f. Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana.
g. Tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.




2. Demokratis
Menurut Prof. Dr. Utami Munandar, .Pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak.
Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua. Adapun ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :
a. Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak
b. Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar di tinggalkan
c. Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian
d. Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga
e. Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga
Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh demokratis mempunyai dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun laissez faire. Dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang menerapkan salah satu macam pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki kecenderungan kepada salah satu macam pola.

3. Laissez Faire
Kata laissez faire berasal dari Bahasa Perancis yang berarti membiarkan (leave alone). Dalam istilah pendidikan, laissez faire adalah suatu sistim di mana si pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut campur).Pola asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah member aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah prilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan ataupun menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.
Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang diinginkannya. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, tergantung dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional. Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah laku mereka. Ketika mereka kecewa mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan. Hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam antara pandangan suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata. Adapun yang termasuk pola asuh laissez faire adalah sebagai berikut :
a. Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya.
b. Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.
c. Mengutanakan kebutuhan material saja.
d. Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua).
e. Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga.
Setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Tipe otoriter memang memudahkan orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk bertanggung jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini mungkin memang tidak memiliki masalah dengan pelajaran dan juga bebas dari masalah kenakalan remaja. Akan tetapi cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki defresi yang lebih tinggi. Sementara pola asuh laissez faire, membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak memang akan memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah. Tapi juga akan lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak mengetahuyi norma-norma sosial yang harus dipatuhinya. Anak membutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga dalam menciptakan karyanya. Karena itu, pola asuh yang dianggap lebih cocok untuk membantu anak mengembangkan kreativitasnya adalah otoratif atau biasa lebih dikenal dengan demokratis. Dalam pola asuh ini, orang tua memberi control terhadap anaknya dalam batas-batas tertentu, aturan untuk hal-hal yang esensial saja, dengan tetap menunjukkan dukungan, cinta dan kehangatan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang tua karena ia tahu, orang tua akan membantunya mencari jalan keluar tanpa berusaha mendiktenya.


3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Hurlock (1993) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
a. Pendidikan orang tua
Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan anak.
b. Kelas Sosial
Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif dibanding dengan orang tua dari kelas sosial bawah.


c. Konsep tentang peran orang tua
Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat dibanding orang tua dengan konsep nontradisional.
d. Kepribadian orang tua
Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua. Orang tua yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan anak dengan ketat dan otoriter.
e. Kepribadian Anak
Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi pemilihan pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan dengan anak yang introvert.
f. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang tua yang memberikan dukungan dan dapat menerima sikap tergantung anak usia pra sekolah dari pada anak.

4. Dimensi Pola Asuh Orang Tua
Baumrind (1994) mengemukakan 4 dimensi pola asuh yaitu:
a. Kendali Orang Tua (Control): tingkah menunjukan pada upaya orang tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan laku yang sudah dibuat sebelumnya.
b. Kejelasan Komunikasi Orang Tua-anak (Clarity Of Parent Child Communication): menunjuk kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan.
c. Tuntutan Kedewasaan (Maturity Demands): menunjuk pada dukungan prestasi, social, dan emosi orang tua terhadap anak.
d. Kasih Sayang (Nurturance): menunjuk pada kehangatan dan keterlibatan orang tua dalam memperlihatkan kesejahteraan dan kebahagiaan anak.


HASIL WAWANCARA

Wawancara subjek 1

I. Subjek
1. Identitas Subjek
Nama (Inisial) : F
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 31 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Depok
Status : Menikah
Anak : 2
2. Latar Belakang Subjek
1. Apa anda disuh oleh orang tuya anda sendiri atau diasuh oleh wali? Iya diasuh orang tua sendiri
2. Bagaimana menurut anda sitem pola asuh yang anda terima? Ehm..penuh dengan kasih sayang.. orang tua saya tidak pernah menuntut kepada saya misalnya untuk selalu mendapat nilai bagus, rangking, termasuk menentukan jalan hidup yang saya pilih mulai dari menentukan sekolah, pekerjaan, dll. Mereka hanya menanamkan pendidikan moral pada saya selanjutnya terserah saya…
3. Apa anda menyukai pola asuh yang mereka berikan terhadap anda? Tentu kalau tidak saya tidak bisa jadi seperti ini..
4. Pada saat anda masih diasuh oleh orang tua, anda berdomisili? Di jawa…
5. Apakah kebudayaan tempat anda berdomisili pada saat itu mempengaruhi orang tua anda dalam mengasuh anda? Ya tentu…adat istiadat, sopan santun, semua terkait dengan budaya di jawa..
6. Bagaimana kebudayaan anda khususnya jawa timur mengatur cara mengasuh anak? Ya dalam kebudayaan jawa timur cara mengasuh anak mungkin sama dengan budaya budaya lainnya mulai dari mengajarkan kebaikan, sopan santun dengan orang tua mulai dari berbicara sampai bertingkah laku. Kalau di tempat saya untuk berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa yang berbedaa dengan berbicara dengan sebaya..kalau dengan orang tua menggunakan kromo inggil yang lebih halus bahasanya dan kalau sebaya menggunakan bahasa biasa..
7. Apakah pola asuh itu mempengaruhi , kehidupan anda sehari-hari? Tentu saja mempengaruhi… pola asuh dari orang tua kita merupakan dasar dalam membentuk kepribadian kita
8. Apakah pola asuh yang anda terima terdapat unsure-unsur budaya didalamnya? Tentu kan saya dulu tinggal di jawa yang disana sangat kental dengan budaya..
9. Sekarang anda kan sudah menikah, bagaimana anda memberikan pola asuh kepada anak anda sama dengan pola asuh yang anda terima? tentu saja..tapi mungkin saya akan menerapkan pola asuh yang sesuai dan yang kurang cocok mungkin akan saya tinggalkan
10. Seperti apakah pola asuh yang sesuai dan tidak sesuai menurut anda? Ya mungkin kalau yang sesuai ya mengenai kebaikan, sopan santun, kejujuran, dsb. Kalau yang kurang sesuai adalah kurangnya kemandirian dan kreativitas anak karena orang tua saya memantau bagaimana keadaan saya dan melarang saya apabila saya melkukan aktivitas yang membahayakan seperti naik gunung, main di sungai..tetapi saya sering melakukan aktivitas itu diam diam kemudian setelah itu baru saya ngomong sama orang tua..
11. Sekarang kan anda tinggal di depok, anda mempunyai 2 anak, bagaimana anda mengasuh anak anda? System apa yang anda terrapkan? Ehm..saya mengasuh anak dengan menerapkan pendidikan moral yang kuat..dengan moral yang kuat menjadikan kepribadian yang kuat sehingga dia tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan…
12. Apakah kebudayaan di tempat anda tinggal sekarang mempengaruhi anda dalam mendidik buah hati anda? Bagaimana? Iya saya pilah pilah yg sesuai saya terapkan yang tidak saya tinggalkan,Saya tetap menerapkan pola asuh yang seperti apa yang saya terima dari orang tua saya sesuai dengan budaya jawa timur yang saya peroleh
13. Bahasa apa yang anda pergunakan dalam mendidik anak? Bahasa Indonesia tetapi dalam kehidupan sehari hari saya menggunakan bahasa pengantar bahasa jawa soalnya istri dan pembantu saya orang jawa.
14. Masakan apa yang biasa anda makan sehari hari? Masakan jawa di rumah istri saya selalu menyediakan masakan jawa..



3. Daftar Pertanyaan
1. Dimensi pola asuh orang tua
A. Kendali orang tua (control)
1. Apakah menurut anda kedisiplinan dalam mendidik anak perlu diterapkan? Bagaimana? Tentu sangat perlu sekali. Kita harus didiplin dalam menerapkan aturan yang dibuat karena untuk membuat aturan itu ditaati kita harus disiplin..kita harus juga menerapkan sanksi
2. Aturan apa saja yang anda terapkan untuk mengasuh anak anda? Apakah terkait dengan budaya anda? Ya aturan dalam cara berbicara dilarang berbica yang kotor, kasar..aturan dilarang berbohong..dilarang memukul adiknya..dsb..ya pasti terkaitlah dalam budaya jawa timur kan juga mengajarkan hal tersebut…
3. Apakah anda tegas menerapkan sanksi dalam aturan tersebut? Bagaimana? Iya..ya kalau misalnya dia bohong, ngomong kasar, dan kita telah menerapkan aturan itu dilarang konsekuensinya ya disuruh masuk kamar biar dia bisa merenungi kesalahannya..saya juga mengajarkan apabila dia melakukan kesalahan dia harus minta maaf
4. Anda kan sewaktu kecil tinggal di jawa bagaimana orang tua anda menerapkan kediplinan? Ya orang tua saya sangat disiplin sekali menerapkan aturan khususnya mengenai norma masyarakat
5. Apakah orang tua anda disiplin dalam menerapkan aturan? Iya disiplin tapi kadang kadang agak longgar juga sih…

B. Kejelasan komunikasi orang tua- anak
6. Apakah anda selalu mendengarkan keluhan anak anda? Apa? Iya selalu…ya semuanya…
7. Apa anda selalu meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak anda? apa saja yang kalian bicarakan? Iya harus..ya semua mulai dari tadi di sekolah ngapain, belajar apa, dsb.
8. Apakah orang tua anda di jawa sama dengan anda selalu mendengarkan aspirasi pendapat anaknya? Misalnya apa? Iya..ya sama seperti saya menanyakan pada anak saya

C. Tuntutan kedewasaan

9. Apakah anda merasa didukung dalam segi pendidikan dari formal sampai non-formal oleh orang tua anda? tentu saja orang tua saya mendukung dan mereka tidak pernah memaksakan saya
10. Siapa menurut anda yang paling mendukung anda ? ibu saya
11. Pada saat sekarng apakah anda mendukung pendidikan formal dan non formal anak anda? Mengapa? ya tentu saja…karena pendidikan itu modal dasar kita..
12. Bagaimana anda mendukung kehidupan social anak anda dimana ada perbedaan budaya antara budaya jawa timur dan depok( jawa barat)? Ya mengajarkan anak saya bahasa Indonesia sesuai dengan bahasa di jawa barat
13. Bagaimana anda menekan emosi anda pada saat anak anda melakukan keslahan/ melanggar aturan yang anda buat? Ya dengan masuk ke kamar kemudian saya menenangkan diri baru setelah saya tenang baru menghadapi anak saya
D. Kasih sayang

14. Bagaimana anda menunjukkan rasa kasih sayang anda terhadap anak anda? Sekali kali dengan menuruti apa permintaan anak saya…
15. Apakah anda selalu ingin menunjukkan rasa kasih sayang itu pada anak anda? Apakah ada kaitannya dengan budaya anda? tentu saja..iya jelas ada kaitannya dalam budaya saya juga mengajarkan kasih sayang

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pola Asuh
A. Pendidikan orang tua
1. Apakah dalam kebudayaan anda pendidikan sangat penting/ memegang peranan dalam pola asuh anak? Mengapa? Ya sangat penting..karena kalau di jawa pendidikan adalah nomor satu sekalipun tidak mampu untuk menyekolahkan anak tapi mereka tetap bersemangat untuk bersekolah
2. Apakah budaya jawa timur sangat mementingkan pendidikan? Mengapa? Iya sangat penting…pendidikan adalah modal dasar
3. Pola asuh apa yang anda terapkan dalam mendidik anak? Apakah juga terkait dalam budaya anda? Bagaiamana? Dengan penuh kasih sayang tapi juga tegas dalam menerapkan aturan…dalam budaya saya juga mengajarkan seperti itu…
4. Apakah anda selalu, memaksakan keinginan anak? Mengapa? Tidak..karena sesuatu yang dipaksakan akan tidak baik
B. Kelas Sosial
5. Apakah di kelas social anda saat ini sangat mementingkan mendidikan anak? Bagaimana? Mengapa? Apakah terkaait dengan budaya anda? iya sangat..pendidikan adalah nomor satu..iya terkaitlah di jawa juga seperti itu
6. Bagaimana lingkungan anda memandang pola asuh terhadap anak apakah terkait dengan budaya ? iya dengan mengutamakan pendidikan..
C. Konsep tentang peran orang tua
7. Bagaimana anda menerapkan konsep pola asuh terhadap anak? apakah terkait dengan budaya anda? dengan menerapkan aturan yang jelas dan tegas tapi penuh dengan kasih sayang..
8. Seberapa ketat dan tegas peraturan yang anda buat? Ya kalau melanggar diberikan sanksi..
9. Bagaimana peran anda sebagai orang tua dalam keluarga? Apakah masih juga terkait dengan budaya anda? ya sebagai istri bertanggung jawab dalam keluarga khususnya mendidik anak karena kita kan yang diberi tanggung jawab dalam mendidik anak


D. Kepribadian Orang tua
10. Menurut anda bagaimana kepribadian anda ?apakah kebudayaan anda berpengaruh dalam membentuk kepribadian anda? saya orangnya cenderung tertutup..mungkin iya soalnya dalam budaya jawa semua kan ada aturannya misalnya dalam perilaku, tutur kata, dan sopan santun..biasanya orang jawa cenderung mempunyai perasaan tidak enakan/ perasa kepada orang lain..
11. Bagaimana anda menerapkan pola asuh pada anak terkait kepribadian anda? saya mendidik anak supaya dia tidak jadi pemalu..tidak seperti saya..
12. Bagaiamana anda memperlakukan anak anda dalam keluarga? Dengan penuh kasih sayang

E. Kepribadian Anak
13. Menurut anda bagaimana kepribadian anak anda? saya melihat sejauh ini sih dia baik baik saja saat berteman dengan temennya bisa membaur..tidak ada masalah
14. Apakah anak anda menyukai dengan setiap aturan yang anda buat? Bagaimana anak anda menyikapinya? Iya tentu dengan menaati aturan..ya kadang kadang namanya anak kecil kadang melanggar atura itu mah biasa…
15. Apakah anak anda selalu terbuka dengan perbedaan? Misalnya perbedaan kebudayaan? Iya tentu dengan bahasa disini pakai bahasa Indonesia saat pulang kampong pakai bahasa jawa tapi juga tidak ada masalah

F. Usia Anak
16. Apakah anda menerapkan pola asuh pada anak tergantung usia mereka? Apakah terkait budaya anda? tentu saja …di jawa kebudayaan saya juga begitu disesuaikan dengan usia anak kan kita tidak bisa memaksakan anak nantinya malah jadinya gak bagus…
17. Berapakah usia anak anda saat ini ? Bagaimana anda menerapkan pola asuh pada anak seusia ini? Apakah nanti akan berbeda jika dia sudah dewasa?6 th dan 2th…tentu saja berbeda misalnya dalam memberikan sanksi disesuaikan usianya…




Wawancara Subjek 2

A. Identitas Subjek 2
Nama (Inisial) : M.R.
Jenis Kelamin : Laki laki
Usia : 36th
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : Sarjana
Alamat : Depok

B. Daftar Pertanyaan
1. Latar Belakang Subjek
1. Apa anda disuh oleh orang tuya anda sendiri atau diasuh oleh wali? Iya diasuh orang tua sendiri
2. Bagaimana menurut anda sitem pola asuh yang anda terima terkait budaya anda? budayanya melekat dalam kehidupan sehari hari..tergambar dalam cara berbica dengan lawan bicara tergantung dari usia dan strata social.
3. Apa anda menyukai pola asuh yang mereka berikan terhadap anda? ya…karena sesuai dengan lingkungna social sekitar
4. Pada saat anda masih diasuh oleh orang tua, anda berdomisili? Di jawa…
5. Apakah kebudayaan tempat anda berdomisili pada saat itu mempengaruhi orang tua anda dalam mengasuh anda? Ya
6. Bagaimana kebudayaan anda khususnya jawa timur mengatur cara mengasuh anak? Diajarkan bertata krama, dalam menghormati orang yang lebih tua..
7. Apakah pola asuh itu mempengaruhi , kehidupan anda sehari-hari? Tentu saja..berbicara pada orang lebih tua.
8. Apakah pola asuh yang anda terima terdapat unsure-unsur budaya didalamnya? Iya
9. Sekarang anda kan sudah menikah, bagaimana anda memberikan pola asuh kepada anak anda sama dengan pola asuh yang anda terima? ya tapi disesuaikan dengan lingkungan berada tinggal..
10. Kebudayaan yang baru berati mempengaruhi ya? Tidak sangat berpengaruh tetapi ikut mempengaruhi..Contohnya? sedikit banyak dalam bahasa..sehari hari yang berkaitan dengan lingkungan sekitar
11. Sekarang kan anda tinggal di depok, anda mempunyai 2 anak, bagaimana anda mengasuh anak anda? System apa yang anda terrapkan? Ehm..saya mengasuh anak dengan menerapkan pendidikan moral yang kuat..dengan moral yang kuat menjadikan kepribadian yang kuat sehingga dia tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan…
12. Apakah kebudayaan di tempat anda tinggal sekarang mempengaruhi anda dalam mendidik buah hati anda? Bagaimana? Iya saya pilah pilah yg sesuai saya terapkan yang tidak saya tinggalkan,Saya tetap menerapkan pola asuh yang seperti apa yang saya terima dari orang tua saya sesuai dengan budaya jawa timur yang saya peroleh
13. Bahasa apa yang anda pergunakan dalam mendidik anak? Bahasa Indonesia dan bahasa jawa..
14. Mengapa anda menerapkan 2 bahasa? Ya karena hanya bahasa itu yang saya kuasai dan saya tinggal di aceh..
15. Masakan apa yang biasa anda makan sehari hari? Masakan Indonesia…

2. Daftar Pertanyaan
1. Dimensi pola asuh orang tua
A. Kendali orang tua (control)
1. Apakah menurut anda kedisiplinan dalam mendidik anak perlu diterapkan? Mengapa? Perlu karena disiplin itu harus dididik dari sejak usia dini..
2. Aturan apa saja yang anda terapkan untuk mengasuh anak anda? Apakah terkait dengan budaya anda? Ya aturan dalam cara berbicara, dan tata krama
3. Apakah anda tegas menerapkan sanksi dalam aturan tersebut? Bagaimana? Iya karena itu merupakan budaya yang umum di indonesia
4. Anda kan sewaktu kecil tinggal di jawa bagaimana orang tua anda menerapkan kediplinan? Sama saya menerapkan kedisiplinan pada anak saya
5. Apakah orang tua anda disiplin dalam menerapkan aturan? Iya disiplin



B. Kejelasan komunikasi orang tua- anak
6. Apakah anda selalu mendengarkan keluhan anak anda?mengapa? iya…Karena biar interaksinya berjalan sebagai mana mestinya..
7. Apakah itu ada kaitnnya dengan budaya anda? bagaimana kebudayaann anda memandang komunikasi antar anak? Iya..Biar terjadi komunikasi yang berimbang antara ortu dan anak..
8. Apa anda selalu meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak anda? apa saja yang kalian bicarakan apa terkait dengan budaya anda?Iya..main dengan siapa tadi ngapain di sekolah diajarin apa dsb…
9. Apakah orang tua anda di jawa sama dengan anda selalu mendengarkan aspirasi pendapat anaknya? Misalnya apa? Iya yang tadi sama…apakah orang tua anda sangat kental kebudayaannya dalam menerapkan pola asuh pada anda? iya…

C. Tuntutan kedewasaan
10. Apakah anda merasa didukung dalam segi pendidikan dari formal sampai non-formal oleh orang tua anda? Iya
11. Siapa menurut anda yang paling mendukung anda ? dua duanya
12. Pada saat sekarng apakah anda mendukung pendidikan formal dan non formal anak anda? iya..mengapa? karena itu penting
13. Bagaimana anda mendukung kehidupan social anak anda dimana ada perbedaan budaya antara budaya jawa timur dan depok( jawa barat)? Dikombinasikan diambil yang baik saja
14. Bagaimana anda menekan emosi anda pada saat anak anda melakukan keslahan/ melanggar aturan yang anda buat ? apakah terkait dengan kebuyaan yang anda terima? iya..ya dengan sabar

D. Kasih sayang
15. Bagaimana anda menunjukkan rasa kasih sayang anda terhadap anak anda terkait budaya anda? membelikan pakaian, mainan bernuansa budaya misalnya batik..
16. Apakah anda selalu ingin menunjukkan rasa kasih sayang itu pada anak anda? iya..mengapa? karena dia anak saya
17. Apakah dalam budaya anda mengajarkan seperti itu? Iya..
2.Faktor-faktor yang mempengaruhi Pola Asuh
A. Pendidikan orang tua
1. Apakah dalam kebudayaan anda pendidikan sangat penting/ memegang peranan dalam pola asuh anak? Mengapa? Otomatis..karena yang diterima selama ini adalah itu..misalnya saya mendapatkan pendidikan tata krama saya akan mengajarkan hal yang sama …
2. Apakah budaya jawa timur sangat mementingkan pendidikan? Mengapa? Ya..karena pendidikan perlu..
3. Pola asuh apa yang anda terapkan dalam mendidik anak? Apakah juga terkait dalam budaya anda? Bagaiamana? Disiplin dan religi
4. Apakah anda selalu ,memaksakan keinginan pada anak? Mengapa? Tidak..karena anak punya keinginan dan jalan hidup sendiri sendiri

B. Kelas Sosial
5. Apakah di kelas social anda saat ini sangat mementingkan mendidikan anak? Bagaimana?Apakah cocok dengan budaya anda? iya..cocok..mengutamakan pendidikan..
6. Bagaimana lingkungan anda memandang pola asuh terhadap anak apakah terkait dengan budaya ? mengutamakan pendidikan

C. Konsep tentang peran orang tua
7. Bagaimana anda menerapkan konsep pola asuh terhadap anak? apakah terkait dengan budaya anda? disiplin tata krama religi..iya budaya saya juga mengajarkan seperti itu
8. Seberapa ketat dan tegas peraturan yang anda buat anak? Proporsi sesuai perkembangan anak..
9. Dalam kebudayaan anda juga seperti itu? Iya..
10. Bagaimana peran anda sebagai orang tua dalam keluarga? Apakah masih juga terkait dengan budaya anda? iya..sebagai kepala keluarga pemimpin keluarga




D. Kepribadian Orang tua
11. Menurut anda bagaimana kepribadian anda ?apakah kebudayaan anda berpengaruh dalam membentuk kepribadian anda? iya..sangat baik jujur dan tidak sombong..
12. Bagaimana anda menerapkan pola asuh pada anak terkait kepribadian anda? menerapkan jujur baik dan tidak sombong religius
13. Bagaiamana anda memperlakukan anak anda dalam keluarga? Sama tidak membedakana, dan adil.

E. Kepribadian Anak
14. Menurut anda bagaimana kepribadian anak anda? baik
15. Apakah anak anda menyukai dengan setiap aturan yang anda buat? Suka sekali Contohnya? Buktinya anak saya selalu nurut dengan saya
16. Apakah anak anda selalu terbuka dengan perbedaan? Misalnya perbedaan kebudayaan? Iya..bagaimana anda menyikapinya? Positif..apakah anda tidak takut anak anda terpengaruh budaya luar? Iya bagaimana anda menyikapinya? Memberikan pendidikan intensif di rumah

F. Usia Anak
17. Apakah anda menerapkan pola asuh pada anak tergantung usia mereka? Apakah terkait budaya anda? iya..mengapa? biar pendidikan efektif
18. Berapakah usia anak anda saat ini ? 3th dan 1 th…bagaimana anda menerapkan pola asuh pada anak seusia ini? Apakah nanti akan berbeda jika dia sudah dewasa? Suruh belajar di sekolah…iya berbeda dalam materi pembelajaran.









Analisa teori dengan hasil wawancara
1. Dimensi pola asuh orang tua
a. Kendali Orang Tua (Control)
Dari wawancara yang kami lakukan pada 2 subjek didapatkan kesamaan inti jawaban bahwa menurut mereka kedisiplinan itu sangatlah penting untuk menegakkan suatu aturan supaya ditaati mereka juga menjelaskan bahwa budaya di jawa timur juga mengajarkan kedisiplinan
b. Kejelasan Komunikasi Orang Tua-anak (Clarity Of Parent Child Communication)
Kedua subjek sama sama berusaha untuk menyempatkan waktu mendengarkan aspirasi pendapat anaknya dimana mereka juga dapatkan hal itu dari orang tua mereka yang masih kental dengan budaya jawa timur.
c. Tuntutan Kedewasaan (Maturity Demands)
Mereka sama sama sangat mengutamakan pendidikan, mendukung kehidupan social anak demi terwujudnya cita cita ingin menjadikan anak yang sukses hal tersebut juga tercermin dalam kehidupan di jawa timur yang sangat menjunjung tinggi pendidikan
d. Kasih Sayang (Nurturance)
Setiap orang tua secara naluriah akan menyayangi anaknya dengan sangat dalam hal ini kebudayaan di jawa timur juga mengajarkan kasih sayang. Orang jawa timur cenderung selalu memperhatikan anaknya setiap waktu setiap detik sehingga ada kecenderungan kurangnya kreatifitas anak.

2. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
a. Pendidikan orang tua
Dari kedua subjek yang kami wawancarai terlihat dalam menerapkan pola asuh pada anak sangatlah permisif dan demokratif terlihat dalam menerapkan aturan sesuai dengan usia mereka dan mereka selalu mendengarkan aspirasi anak mereka. Hal ini terjadi akibat pendidikan orang tua yang cukup baik yang mempengaruhi pola asuh. Terkait dengan budaya mereka ada kecenderungan orang jawa timur selalu menjunjung tinggi pendidikan sehingga mereka berfikiran untuk menyekolahkan anak setinggi langit.
b. Kelas Sosial
Dilihat dari wawancara diatas terlihat kedua subjek berada pada kelas social yang cukup baik terlihat dalam lingkungan yang selalu mengutamakan pendidikan begitu juga di jawa timur juga mementingkan pendidikan.
c. Konsep tentang peran orang tua
Dari wawancara kedua subjek bahwa mereka memilih pola asuh yang sesuai dengan budaya yang mereka dapat dari kedua orang tua mereka yaitu selalu menerapkan kedisiplinan dan memberikan sanksi tetapi disesuaikan dengan usia anak.
d. Kepribadian orang tua
Dari hasil wawancara didapatkan bahwa kepribadian mereka terbentuk dari pola asuh orang tua mereka dimana sangat kental dengan nilai nilai budaya.
e. Kepribadian Anak
Para subjek memberikan pola asuh yang sama dengan pola asuh yang mereka dapat dari orang tua mereka yang kental dengan nilai nilai budaya dan dicampur dengan budaya di tempat sekarang mereka tinggal hal tersebut yang akan membentuk kepribadian anak.
f. Usia anak
Para subjek membuat aturan dalam pola asuh disesuaikan dengan usia mereka. Dalam budaya di jawa timur pun juga memberikan pendidikan sesuai dengan usia anak. Hal ini juga telah diatur dalam undang undang pendidikan.



KESIMPULAN

Gambaran mengenai pengaruh budaya jawa timur terhadap pola asuh anak adalah bahwa kebudayaan asal orang tua mempengaruhi pola asuh orang tua kepada anak nya, selain itu mereka juga mencampur dengan kebudayaan yang baru dengan mengambil apa saja yang mereka rasa cocok .Walaupun sudah dilingkungan baru mereka masih menggunakan kebudayan tempat dia berasal karena kebudayaan tersebut telah melekat dalam diri mereka . Terkadang mereka masih menggunakan bahasa, pola asuh, dan lainnya dari daerah tempat ia berasal. Kebudayaan jawa yang mereka dapat telah membentuk kepribadian yang kuat sehingga mempengaruhi mereka dalam menerapkan pola asuh yaitu pola asuh yang permisif dan demokratif.
Sedangkan untuk faktor faktor yang mempengaruhi budaya dalam menerapkan pola asuh adalah bahwa budaya di jawa timur sangat mengutamakan pendidikan, mereka selalu mengajarkan tentang pentingnya pendidikan walaupun kehidupan susah tetapi pendidikan harus dijalankan, selain itu budaya jawa timur juga mengajarkan tentang sopan santun, kebaikan, kejujuran, sehingga akan membentuk kepribadian yang baik yang akan mempengaruhi dalam menerapkan pola asuh orang tua sehingga terbentuk kepribadian anak yang baik pula. Dalam Budaya jawa konsep peran orang tua juga diajarkan dengan baik terlihat dari tata cara berbicara kepada orang tua yang berbeda dengan teman sebaya.





































DAFTAR PUSTAKA


Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1996
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988)
TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988)
Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, (Yogyakarta : Kanisius, 1990) Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991)
Paul Hauck, Psikologi Populer, (Mendidik Anak dengan Berhasil), (Jakarta : Arcan,1993)
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : PT Rieneka Cipta, 1991)
Singgih D. Gunarsa dan Ny.Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia, 1995)
Parsono, Materi Pokok Landasan Kependidikan, (Jakarta : Universitas terbuka, 1994)
Utami Munandar, Hubungan Isteri, Suami dan Anak dalam Keluarga, (Jakarta : Pustaka Antara, 1992)
Mohammad Shochib, Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Disiplin diri, (Jakarta : PT Rieneka Cipta, 1998),
Soegarda Poebakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1976)
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/Artikel_10500364 .pdf
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_a5051_0601975_chapter1.pdf
http://dspace.widyatama.ac.id/jspui/bitstream/10364/507/4/bab2.pdf
http://ahmad-naufal-d.blog.ugm.ac.id/2011/11/09/ragam-budaya-jawa-timur/
http://fistianipooh.blogspot.com/2008/06/tugas-metodologi-penelitian.html/
http: //doblang88.wordpress.com/

Sabtu, 10 Desember 2011

Laporan perkembangan psikologi lintas budaya

Nama Kelompok
1. Danu (11509059)
2. Dewi Sartika (15509128)
3. Fayruz Zhalielah (16509832)
4. Lia Kalista Nurmala (12509802)
5. Riski Rahmasari (10509815)
KELAS : 3 PA 01

Tema : Mengenai Pola Asuh
“Pengaruh budaya jawa timur terhadap pola asuh”
Tugas : Fayruz zhalielah (Menyusun tinjauan pustaka, observer, dan menjadi notulen dalam proses wawancara nanti )
Kelompok kami telah mengerjakan tugas yang Ibu berikan sampai pada bab I pendahuluan dan bab II mengenai Tinjauan Pustaka Kelompok kami juga telah mendapat subjek sebanyak dua orang yang akan kami wawancara. Yaitu M.R sebagai subjek dan S.P sebagai significant other.
Kesulitan yang saya dan kelompok saya rasakan untuk mengerjakan tugas ini awalnya adalah mengenai pemilihan tema awalnya kami memilih tema kebudayaan namun kemudian kami kesulitan dalam mencari teori yang berkaitan dengan kebudayaan tersebut akhirnya kami memilih tema pola asuh dikarenakan bagi kami lebih mudah dalam menemukan teori yang nantinya akan digunakan sebagai pedoman wawancara. Saat ini kami belum sempat menyelesaikan tugas untuk membuat pedoman wawancara dikarenakan saat ini konsentrasi kami juga sedang terpecah dalam menyelesaikan ujian tengah semester.
Kami merasa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna untuk itu kami mohon kepada ibu untuk memberikan bimbingan kepada kami agar tugas yang ibu berikan dapat kami selesaikan dengan baik. Terima kasih.

Selasa, 04 Oktober 2011

Kebudayaan indis

BAB I
PENDAHULUAN

Pada abad ke-16, orang belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah.
Kehadiran orang Belanda di Indonesia, yang kemudian menjadi penguasa, mempengaruhi gaya hidup , bentuk bangunan rumah tradisional serta fungsi ruangannya.
Suburnya budaya Indis, pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang pada pejabat Belanda. Saat itu, ada larangan membawa isteri dan mendatang kan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Hal ini mendorong lelaki Belanda menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah pencampuran darah yang melahirkan anak-anak berdarah campuran, serta menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi atau gaya Indis.
Kata “Indis” bagi masyarakat Indonesia pada masa tertentu dianggap sebagai hinaan, yang biasanya digunakan bagi bangsa kelas rendahan. Setelah proklamasi kemerdekaan, kata tersebut tinggal menjadi kenangan belaka. Dan bagi generasi masa sekarang hal itu dapat dijadikan cermin agar penjajahan tidak terulang kembali.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis, yaitu sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Pendapat Adolph S. Tomars dlam tulisannya yang berjudul Class Systems and the Arts yang menjelaskan bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA (TEORI)

1. Pengertian Psikologi Lintas Budaya
Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda.
Menurut Seggal, Dasen, dan Poortinga (1990) psikologi lintas budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk, dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Pengertian ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok, yaitu keragaman perilaku manusia di dunia, dan kaitan antara perilaku individu dengan konteks budaya, tempat perilaku terjadi.
Menurut Triandis, Malpass, dan Davidson (1972) psikologi lintas budaya mencakup kajian suatu pokok persoalan yang bersumber dari dua budaya atau lebih, dengan menggunakan metode pengukuran yang ekuivalen, untuk menentukan batas-batas yang dapat menjadi pijakan teori psikologi umum dan jenis modifikasi teori yang diperlukan agar menjadi universal.
Menurut Brislin, Lonner, dan Thorndike, 1973) menyatakan bahwa psikologi lintas budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat membawa ke arah perbedaan perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan.
Triandis (1980) mengungkapkan bahwa psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian sistematik mengenai perilaku dan pengalaman sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya yang berbeda, yang dipengaruhi budaya atau mengakibatkan perubahan-perubahan dalam budaya yang bersangkutan.
Dalam arti sempit, penelitian lintas budaya secara sederhana hanya berarti dilibatkannya partisipasian dari latar belakang kultural yang berbeda dan pengujian terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan antara para partisipan tersebut.

Terdapat beberapa definisi lain (menekankan beberapa kompleksitas), antara lain:
Menurut Triandis, Malpass, dan Davidson (1972) psikologi lintas budaya mencakup kajian suatu pokok persoalan yang bersumber dari dua budaya atau lebih, dengan menggunakan metode pengukuran yang ekuivalen, untuk menentukan batas-batas yang dapat menjadi pijakan teori psikologi umum dan jenis modifikasi teori yang diperlukan agar menjadi universal. Sementara Brislin, Lonner, dan Thorndike, 1973) menyatakan bahwa psikologi lintas budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat membawa ke arah perbedaan perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan. Triandis (1980) mengungkapkan bahwa psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian sistematik mengenai perilaku dan pengalaman sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya yang berbeda, yang dipengaruhi budaya atau mengakibatkan perubahan-perubahan dalam budaya yang bersangkutan.
Setiap definisi dari masing-masing ahli di atas, menitik beratkan ciri tertentu, seperti misalnya pertama, gagasan kunci yang ditonjolkan ialah cara mengenali hubungan sebab-akibat antara budaya dan perilaku. Kedua, berpusat pada peluang rampat (generalizabiliti) dari pengetahuan psikologi yang dianut. Ketiga lebih menitikberatkan pengenalan berbagai jenis pengalaman budaya. Kempat, mengedepankan persoalan perubahan budaya dan hubungannya dengan perilaku individual.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa psikologi lintas budaya adalah psikologi yang memperhatikan faktor-faktor budaya, dalam teori, metode dan aplikasinya.
2. Hubungan dengan ilmu disiplin lainnya
Psikologi indigeneous adalah studi ilmiah mengenai tingkah laku yang asli yang tidak diperoleh dari daerah lain, yang dirancang untuk orang orang setempat. Indigenisasi adalah proses penyampuran antara psikologi luar dan setempat. Indigenisasi mencakup studi tentang isu dan konsep yang merupakan kebutuhan dan realitas dari budaya tertentu.
Psikologi budaya adalah studi tentang cara tradisi budaya dan praktek social meregulasikan, mengekspresikan, mentransformasikan, dan mengubah si ke manusia. Psikologi budaya adalah studi tentang cara subjek dan objek, si ke dan budaya, person dan konteks, figure dan ground, praktisi dan praktek hidup bersama memerlukan satu sama lain.


















BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Awal Kehadiran Orang Belanda
Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah.
Kehadiran orang Belanda di Indonesia, yang kemudian menjadi penguasa, mempengaruhi gaya hidup , bentuk bangaunan rumah tradisional serta fungsi ruangannya. Alat perlengkapan rumah tangga tradisional juga banyak mengalami perubahan. Dengan demikian, kebudayaan barat (Belanda) dalam kehidupan sehari-hari, serta tujuh unsur universal kebudayaan seperti bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia,mata pencaharian hidup, sistem ekonomi, system kemasyarakatan, kesenian,ilmu pengetahuan, dan religi ikut terpengaruh juga. Percampuran unsur budaya Belanda dan budaya pribumi inilah yang disebut Kebudayaan Indis.
Suburnya budaya Indis, pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang pada pejabat Belanda. Saat itu, ada larangan membawa isteri dan mendatang kan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Hal ini mendorong lelaki Belanda menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah pencampuran darah yang melahirkan anak-anak berdarah campuran, serta menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi atau gaya Indis.
Kata “Indis” dalam tulisan ini berasal dari bahasa Belanda “Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda,yaitu nama jajahan Belanda diseberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan dikepulauan yang disebut Nederlands Oost Indie. Istilah Indis dikenal makin luas oleh masyarakat dengan berdirinya partai-partai politik, seperti Indische Partai yang didirikan oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangun Kusumo dan Suwardi Suryaningrat pada 1912.
Kata “Indis” bagi masyarakat Indonesia pada masa tertentu dianggap sebagai hinaan, yang biasanya digunakan bagi bangsa kelas rendahan. Setelah proklamasi kemerdekaan, kata tersebut tinggal menjadi kenangan belaka. Dan bagi generasi masa sekarang hal itu dapat dijadikan cermin agar penjajahan tidak terulang kembali.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis, yaitu sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Pendapat Adolph S. Tomars dlam tulisannya yang berjudul Class Systems and the Arts yang menjelaskan bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu.
Sementara itu ada pendapat yang menyebutkan bahwa ornament yang digunakan karena diilhami dua factor, pertama factor emosi, dan factor kedua factor teknik. Bart van der Leck dalam tulisan nya yang berjudul The Place of Modern Painting in Architecture, berpendapat bahwa pada suatu waktu, seni lukis terpisah dengan sendirinya dari arsitektur dan berkembang bebas.

3.2 MASYARAKAT PENDUKUNG KEBUDAYAAN INDIS
1. Struktur masyarakat dan kehidupannya

Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan Barat dan Timur. Kebudayaan Barat (Belanda) dan kebudayaan Timur (Jawa) , yang masing – masing didukung oleh etnis berbeda dan mempunyai sturktur social yang berbeda pula, semakin bercampur.
Masyarakat kolonial di Hindia Belanda memiliki struktur yang bersifat (semi) feudal. Mereka mengalami modernisasi karena masyarakatnya tumbuh sejalan dengan perkembangan sistem produksi dan teknologi. Sebab lainnya adalah karena ada perkembangan di bidang pendidikan dan organisasi pemerintahan dengan gaya Barat. Prestise golongan masyarakat Pribumi yang berpendidikan Barat lambatlaun menjadi kuat. Kemudian terbbentuklah golongan baru berdasarkan jenjang sosial baru, yaitu golongan intelektual Pribumi atau keturunan. Golongan bangsawan dan kaum terpelajar, serta pegawai pemerintahan colonial dari berbagai tingakat yang disebut priyayi adalah kelompok utama pendukung kebudayaan indis. Mereka bersikap kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial, yang memberikan prioritas pada politik dan kepentingan modal, beranggapan bahwa gaya hidup dan cara pikir gaya Indis adalah satu hal yang tepat, baik secara sadar maupun tidak. Anggapan tersebut menjadikan pemerintah kolonial lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat jajahan dengan Politik Etis-nya.
Gaya indis sebagai suatu perkembangan budaya campuran Belanda dan pribumi Jawa, menunjukan adanya proses historis. Pada masa awal, yang menonjol adalah unsur – unsur yang bersifat subyektif., seperti solidaritas dan rasa kesatuan dalam kelompok, rasa senasib sepenanggungan, kehendak bekerja sama dan bermacam – macam faktor mental lainnya.
Unsur – unsur esensial yang menonjol dalam perkembangan antara lain: pendaritaan bersama sebagai golonngan keturunan (indo Belanda / Eropa) , sebagai pejabat bawahan pemerintahan kolonial, sebagai golongan dalam tingkat – tingkat masyarakat jajahan yang merasa berbeda dengan rakyat kebanyakan di Jawa, dan sebagainya. Tindakan, sikap, sentimen, pandangan, serta hasil karya yang mereka hasilkan merupakan ‘pencerminan perwujudan” sekelompok golongan masyarakat di Hindia belanda dengan gaya hidupnya yang disebut ‘Indis”.
Konseptualisasi metodologis gaya hidup Indis antara lain dapat dipahami melalui beberapa sudut pandang masyarakat pendukung gaya Indis sebagai suatu faktor yang bersifat sosio – psikologis. Kita harus memahami dan mengamati beberapa aspek, yaitu : a) aspek kognitif , b) aspek pada orientasi nilai, normatif dan kepercayaan (beilief) , c) aspek afektif, dan d) aspek yang berhubungan dengan aspek komposisi siosial dalam kehidupan keluarga (the household level)

A. Aspek kognitif
Berhubungan erat dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal ini sulit diartikan karena gaya Indis berpangkal pada akar dua kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang jauh berbeda. Untuk memahaminya perllu diketahui adanya suatu pengerltian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya.
B. Aspek normatif
Aspek ini memiliki makna hampir sama dengan aspek orientasi nilai, tujuan, normative dan kepercayaan. Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memeperoleh hidup yang lebih baik dibawah kekuasaan pemerintah kolonial. Aspek normatif berhubungan dengan suatu yang bersifat pribadi yang diekspresikan oleh susunan derajat kehidupan sesuai dengan masyarakat kolonial.

C. Aspek afektif
Aspek afektif yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ketiga ini bisa dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga, terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah. Ketiga aspek kognitif, normatif, dan afektif tersebut merupakan tindakan saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan secara konkret satu sama lain meskipun kebudayaan Indis merupakan campuran dua kebudayaan yang berbeda. Dua kebudayaan yang berbeda itu justru terus bercampur semakin erat.

D. Komposisi sosial
Kehidupan keluarga (household level) menunjukan susunan masyarakat Jawa yang berbeda dengan masyarakat Eropa. Gaya hidup priyayi baru yang berpendidikan Barat ini mendekati gaya hidup Eropa, misalnya dalam cara berpakaian dan cara makan.
Gaya hidup dan bangunan ruamh Indis pada tingakat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda. Sementara itu, terjadi penyesuaian dengan iklim dan budaya Pribumi setempat yang akhirnya menumbuhkan budaya perpaduan yang disebut gaya Indis.
Kebudayaan Indis, bila dibandingkan dengan budaya “priyayi baru” (priyayiyi bukan bangsawan) memiliki ciri gaya hidup sebagai suatu golongan masyarakat, yaitu memiliki kompleksitas simbolis yang menunjukan karakteristik priyayi. Pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran yang tampak ganjil bagi para pengamat kebudayaan. Bagi orang Jawa kebbudayaan Indis dianggap kasar, sedangkan menurut orang Belanda kebudayaan Jawa dianggap kuno.
Runtuhnya Hindia Belanda ke tangan tentara Jepang dalam perang dunia II pada 1942, disusul revolusi Indonesia pada 1945, tidak membuat peradaban Indis runtuh. Kebudayaan ini hanya mengalami erosi. Hingga sekarang, terdapat unsur – unsur budaya Indis yang hidup dan berkembang. Bahkan ada yang patut menjadi acuan positif sampai sekarang, misalnya sistem pemerintahan, kebiasaaan menjaga kebersihan dan kesehatan. Sistem hukum, etos kerja, disiplin, serta penghargaan terhadap waktu.
Pada masa penjajahan Jepang, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut kaum terpelajar masih tetap berlanjut. Unsur peradaban itu berasal dari golongan priyayi Pribumi, golongan indo, serta birokrat pemerintahan dari zaman Hindia Belanda.

Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu bangsa indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa jajahan kolonial.
Menurut para antropolog ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal.
1. bahasa (lisan maupun tertulis)
2. peralatan dan perlengkapan hidup manusia
3. mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
4. sistem kemasyarakatan
5. kesenian
6. ilmu pengetahuan
7. religi

Dalam arkelogi perubahan budaya dapatdiamati melalui perubahan tipe kebudayaan material. Perubahan itu dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : inovasi, teknologi, perubahan fungsi, ideologi, serta kreativitas, atau kebebasan para pengrajin atau seniman dalam mewujudkan gagasannya.
Dalam proses akulturasi dan penyebarluasannya, berperan pula para cendikiawan, seniman, arsitek dan sastrawan Pribumi setempat. Dalam hal ini peran local genius atau kepribadian budaya bangsa yang dimiliki orang Jawa tidak kurang pentingnya.

PEMBAHASAN TUJUH UNSUR UNIVERSAL BUDAYA

1. Bahasa

Sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 bahasa Melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa Belanda. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, proses perpaduan bahasa Belanda dan Jawa terjadi hanya pada sebagian masyaakat pendukung kebudayaan Indis. Proses ini menghsilkan bahasa pijin atau bahasa campuran. Yang bila ditelaah secara etimologis berasal dari kata “business” yang bermakna perdagangan.
Di dunia tidak ada bahasa pijin yang merupakan bahasa pijin standar. Meskipun demikian, bahasa pijin pada umumnya muncul dalam suatu situasi keadaan kebahasaan darurat. Ekspansi kolonial dan imperialisme Eropa mengakibatkan bangsa Eropa dan penduduk asli memiliki kebutuhan untuk berkomunikasi.
Bahasa campuran ini sering muncul dalam daerah kontak bahasa dari kebudayaan yang berbeda. Didalam bahsa campuran ini, bahasa yang mempunyai prestise sosial yang lebih tinggi akan berkembang menjadi bahasa penyumbang yang dominan.
Istilah “creole” dalam bahasa inggris berasal dari bahasa Spanyol, “criollo”yang berarti “kreolis, asli”. Karena itulah istilah “kreol” atau “kreolis” dalam arti linguistik pertama – tama dipakai dipulau – pulau West Indies Prancis dan juga Louisiana untuk menyebut bahasa – bahasa yang dipakai para budak. Dalam terminologis - linguistik dewasa ini, bahasa kreol pun memiliki komponen linguistik, sosiologis, dan historis. Bahasa kreol dapat didefinisikan sebagai berikut :
Bahasa kreol terbentuk jika suatu sistem komunikasi yang pada awalnya merupakan bahasa pijin menjadi bahasa ibu suatu masyarakat. Bahasa hasil campuran orang – orang Belanda dengan orang Jawa ini lazim disebut bahasa Peetjoek atau Petjoek. Bahasa petjoek ini juga digunakan dikalangan anak – anak Indo dan anak – anak dari golongan masyarakat terpandang, tetapi tidak boleh digunakan di rumah karena mereka harus menggunakan bahasa yang sopan. Maksudnya adalah anak yang tidak berbahasa Belanda dengan baik dianggap tidak beradab atau tidak sopan (hina). Bahasa petjoek juga dianggap bahasa hina karena dipengaruhi oleh bahasa bangsa kulit berwarna, yaitu orang yang dianggap berderajat rendah didalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda.
Diduga pada awal abad ke-20, perkembangan bahasa Melayu pasar sudah mantap. Bahasa Melayu pasar berawal dari bahasa komunikasi dalam lingkungan keluarga Indis, teutama yang tinggal dirumah – rumah pesanggrahan (Indische Laundhuzen). Bahasa itu kemudian juga digunakan oleh golongan Indo – Belanda. Bahasa Melayu pasar, yang tumbuh dipinggiran kota Batavia ini kemudian berkembang sebagai bahasa komunikasi kaum Betawi sampai sekarang. Penggunaan bahasa Betawi ini juga semakin berkembang karena digunakan pula oleh surat kabar yang dirintis oleh kelompok atau kalangan peranakan Cina.

2. Kelengkapan hidup
Yang dimaksud sebagai kelengkapan hidup ialah semua hasil cipta yang digunakan untuk melindungi dan melengkapi searana hidup sehingga memudahkan hidup manusia. Karya tersebut dapat berupa :
a) Rumah tempat tinggal
b) Kelengkapan rumah tangga, misalnya meja dan kursi
c) Pakaian dan kelengkapannya
d) Senjata
e) Alat produksi
f) Alat transportasi

3. Mata pencaharian hidup
Akibat dari masa keemasan masa imperialisme dan kolonialisme Belanda mengutamakan pada penaklukan wilayah dari tangan pribumi serta merebut perdagangan rempah – rempah dari Portugis dan Inggris. Dengan kekuatan militer, mereka memperluas kekuasaan politik dan menyebarluaskan agama.
Berbagai usaha perluasan penjajahan ini melibatkan banyak tenaga Pribumi sehingga muncullah mata pencaharian baru bagi banyak orang Jawa. Perkerjaan yang menggunakan tenaga Indo Eropa atau pribumi adalah sebagai berikut :

a. Prajurit sewaan
Prajurit sewaan ini digunakan sebagai angkatan bersenjata Belanda untuk perluasan wilayah. Dimasa kemudian prajurit sewaan ini oleh Belanda juga dijual atau disewakan untuk penguasa Pribumi apa bila ada persengketaan antar pengusa Pribumi itu sendiri.

b. Pejabat administrasi pemerintah
Perluasan wilayah kekuasaan berakibat pada dibutuhkannya aparatur pemerintahan. Mulanya orang – orang Eropa didatangkan untuk mengisi tempat itu. namun akibat pecahnya Perang Dunia I (1914 – 1918) mengakibatkan jumlah pegawai dan hasil industri yang datang dari Hindia Belanda semakin berkurang. Hal ini justru mengakibaktan jumlah lembaga – lembaga pendidikan tinggi bertmbah. Lembaga – lembaga pendidikan tersebut didirikan untuk mencetak tenaga terampil, untuk mengantisipasi kekurangan tenaga dari Belanda dan untuk menyokong pertumbuhan berbagai industri di Indonesia.

c. Tenaga kasar
Tenaga kasar hadir sebagai pengganti sulitnya mendatangkan orang – orang Eropa ke Hindia–Belanda akibat jarak yang jauh. Utamanya wanita yang ditujukan untuk memperbanyak keturunan.
Babu adalah istilah untuk pekerja rumah tangga atau pembantu perempuan, sedangkan jongos adalah istilah pembantu untuk laki – laki. Kehidupan para babu – jongos sangatlah erat dan akrab dengan majikannya. Selain babu–jongos adapula nyai, yaitu perempuan Pribumi pendamping pria Eropa tanpa pernikahan. Merekalah yang melahirkan anak–anak yang mendukung peradaban Jawa – Eropa (Balanda), yang juga disebut peradaban Indis.

4. Pendidikan dan Pengajaran
Dalam pandangan masyarakat tradisional orang yang berusia lanjut memiliki pengalaman yang lebih luas. Hal itu disebabkan karena akumulasi pengalaman yang didengar dan dilihat sehingga orang yang berusia lanjut memiliki kebijakan dan kearifan. Pandangan ini tertanam kuat pada masyarakat jawa.
Pendidikan Jawa yang semula berfungsi sebagai pelestarian budaya dan kesinambungan generasi melunak pads masyarakat Indis.Banyak unsure budaya Jawa mempengaruhi anak anak keturunan Eropa dan sebaliknya banyak pengaruh unsure Eropa pada anak anak para priyayi.
Pendidikan umum adalah alat penting untuk melatih seseorang agar dapat memegang suatu posisi jabatan dalam suatu status di masyarakat. Pendidikan barat merupakan daya tarik dan idaman sehingga orang menghargainya tanpa mengingat asal usul seseorang. Pendidikan bagi anak perempuan agaknya tidak terlalu jauh berbeda pada masa sebelumnya. Pendidikan Eropa kurang meresap dan dianggap kurang penting bagi anak perempuan karena perempuan hanya dianggap sebagai pendamping suami. Pada 1920- 1930 muncul perubahan yaitu perempuan ikut berperan untuk meningkatkan endapatan keluarga seperti mendirikan usaha batik, berdagang, dsb. Namun hal itu tidak berlaku bagi istri keluarga indis. Meskipun demikian dalam tahun tahun tersebut pengajaran di perguruan tinggi memunculkan perempuan professional di bidang pengajaran, kesehatan, dan umum.
5. Kesenian
Stijl atau gaya dari bahasa Latin yaitu atilus berarti alat penggores atau kalam bisa juga bermakna cara menggores atau menulis . Bahas Belandanya schirjftrant stijl bahasa jawanya cengkok atau cara.
Pendapat kedua stijl dari bahasa Yunani yaitu stilisilo artinya batang tiang bahasa inggrisnya Style. Arti penting pemahaman tentang stijl/ gaya terhadap pemahaman karya seni dan budaya.
Dalam bahasa Indonesia , gaya yaitu bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang maupun kelompok, baik dalam unsure, kualitas, maupun ekspresinya. Bagi seorang arkeolog, gaya bermakna spesifik, yaitu terfokus pada motif atau pola atau pattern. Dengan demikian secara tidak langsung gaya dapat digunakan untuk memahami kualitas karya suatu budaya yang dapat membantunya untuk melokalisasi dan mendata suatu karya.
Bagi ahli sejarah seni rupa, gaya adalah objek yang pokok atau esensial didalam penelitian dan pengamatan karya seni. Memahami sesuatu secara mendalam merupakan wahana untuk mengerti suatu ekspresi dalam kelompok baik dinilai dari sudut keagamaan maupun moral lewat sugesti emosional. Maka dasar dasar umum dapat diketahui dan diukur kadarnya meskipun sifatnya sangat relatif
Menurut Henk Baren stijl mempunyai 4 macam pengertian yaitu:
1. Objectieve stijl yaitu gaya dari benda atau barangnya itu sendiri
2. Subjectieve stijl atau persoonlijke stijl yaitu gaya yang dimiliki oleh si seniman, penulis, pemahat, pelukis, dan arsitek yang merupakan cirri hasil kerjanya.
3. Stijl massa atau nationale stijl yaitu suatu gaya yang menjadi cirri atau pertanda (watak) suatu bangsa misalnya bangsa Eropa( barat), orang timur, Jepang, Indonesia, dll.
4. Technische stijl yaitu gaya khusus yang berhubungan dengan bahan atau material serta teknik pengolahan yang digunakan misalnya dari bahan kayu, atau besi menjadi sesuatu bangunan.

a. Seni Kerajinan ( seni kriya)
Seni kerajinan orang Jawa juga sudah sangat berkembang saat kehadiran orang Eropa. Raja raja Bumiputera memiliki tukang tukang pengrajin yang sangat mahir. Mereka bertempat tinggal dalam wilayah tertentu secara turun temurun.
Kebesaran dan kekayaan seorang raja atau bangsawan ditunjukkan dengan cara mengenakan kelengkapan pakaian dan pemilikan benda benda seni yang bermutu tinggi. Berbagai usaha untuk memelihara dan merawat benda benda tersebut diusahakan sebaik baiknya dengan ramuan dan ramuan khusus tradisional bahkan dengan mantra mantra. Kepemilikan benda kebesaaran itu harus diteruskan oleh para priyayi yang mengabdi pada pemerintah Belanda. Dari hasil seni karya kerajinan ini tumbuh bermacam macam pengetahuan misalnya tentang pamor keris, berbagai bentuk ukir ukiran, ragam hias dengan berbagai arti simbolik di belakangnya, dan sebagainya.
Pada masa kemudian karena barang barng kerajinan tersebut diatas banyak dihasilkan oleh pabrik, maka secara berangsur berangsur industry ini mengalami kemunduran dan beberapa diantaranya punah. Pada perempat abad 20 terjadi zaman sukar atau malaise yang melanda Hindia Belanda dengan demikian penghidupan para pengrajin pun semakin susah sehingga pengetahuan mereka yang berhubungan dengan kerajinan tidak diturunkan pada anak cucu mereka. Banyak pusat kerajinan hilang di berbagai tempat di Jawa. Pada tahun 1888 pihak pemerintah Belanda tergugah untuk memajukan kembali usaha kerajinan namun tidak terlalu berhasil. Pada tahun 1888 diadakan pameran di museum museum. Pemerintah juga mengembangkan pendidikan seni kerajinan bahkan mencari pasaran Eropa. Kemudian pada tahun 1904 terbit berbagai macam buku tentang seni kerajinan. Berkat jasa para sarjana Belanda tersebut. Berbagai karyaseni dan kerajinan jawa tertulis dapat didokumentasikan.

b. Seni Pertujukan, Sastera, dan Film
Slavenorkest disebut sebagai pemain music. Pada abad 19 memiliki slavenorkest menunjukkan suatu gaya hidup mewah dengan derajat tertent dikalangan para landheer di zaman itu. Bahkan orang cina juga melatih budaknya untuk bermain music, sandiwara, menari,dsb.
Gaya Indis di Jakarta memiliki cirri cirri gaya seni setempat ditambah unsure unsure Cina yang dapat pula disimak dalam beberapa bentuk musik rakyat Betawi hingga kini. Jika cirri indis dengan brass-band dari Eropa terlihat kuat dalam tanjidor yang sekarang cenderung semakin memudar, maka unsure nada music cina jelas terdengar dalam gambang kromong. Paduan selaras dari kedua unsure luar ini terwakili dengan baik dalam music keroncong. Bentuk paduan music dengan gerak dari dalam teater melahirkan cirri Indis yang dikenal sebagai komedi stanboel (stambul).

6. Ilmu Pengetahuan dan Gaya Hidup
a. Peran Penghuni dan Pemilik Pesanggrahan

Peran Penghuni dan pemilik pesanggrahan dalam menentukan perkembangan ilmu dan gaya hidup dapat kita lihat dari lima hal berikut:
Pertama, tentang pembudidayaan alam. Di sekitar bangunan pesanggrahan ini terdpat perkebunan kopi.
Kedua, di perkebunan tepi jalan Tangerang menuju Batu Ceper dibuat tempat pembudidayaan ulat sutra.
Ketiga, di pesanggrahan Molenvliet( yang sudah hancur tidak tersisa) Dr. Johan Maurists Moor mendirikan sebuah menara untuk meletakkan teropong penelitian bintang (Observative toren) untuk kepentingan ilmu perbintangan.
Keempat, pesanggrahan Tanjung Barat, yaitu sebuah pesanggrahan kuno memiliki sebuah bangunan gardu pemandangan dengan kubah yang digunakan untuk melihat pemandangan keindahan alam sekeliling.
Kelima, Jan Andies Duurkoop mendirikan tempat penangkaran dan pembibitan pohon jati yang kemudian pohon jati tersebut ditanam diberbagai tempat yang berbeda.

b. Pembangunan rumah mewah dan kemewahan gaya hidup Indis
Pada zaman para duta menerima baik para tamu/ para pelancong di tanah pesanggrahannya. Para pelancong menyampaikan kekagumannya terhadap kehidupan indis yang megah itu. Mereka juga sangat kagum terhadap kesuburan tanah perkebunan dan daerah sekelilingnya.

c. Pembangunan rumah pesanggrahan
Pembangunan rumah pesanggrahan oleh para pembesar Kompeni diawali dengan mendapatkan sebidang tanah berupa hutan. Semula mereka mendapatkan eigendom (hak milik) dari pengusaha tertinggi di Hindia Belanda, Hooge Regeiring. Dari tanah tersebut kemudian dibangunlah sebuah rumah pesanggrahan dan design rumah itu mereka buat sendiri dan diselesaikan oleh ahli bangunan pribadi mereka.
Ciri utama akan keagungan rumah pesanggrahan adalah jendela jendela yang luas, tinggi, dengan petak petak gelas ( glazen ruiten) di bagian ineriornya. Lantainya dengan jerambah batu Koromandel warna merah, ruang ruang dankamar berlangit yang tinggi dan luas dengan berhias stucco, berperabotan antic, mewah, di sek elilingnya terdapat rumah untuk bersantai dan bermain music.
Akibat perang dunia I dan perang dunia II disusul kehadiran bala tentara Jepang revolusi Indonesia dan resesi ekonomi lenyaplah sudah kemewahan hidup dan seni bangunan sebagai symbol kemakmuran indis itu.

7. Religi
Enkulturasi adalah suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang berbeda sampai munculnya pranata yang mantap. Dalam pembahasan kajian teologi, enkulturasi diartikan sebagai rancang bangun teologi lokal. Proses enkulturasi tidak hanya didukung oleh keseluruhan penyesuaian diri dalam kehidupan social, tetapi juga didukung oleh pengalaman pengalaman social seperti bentuk ucapan atau bahasa, tingkah laku, lambing, dan symbol symbol serta system kepercayaan.
Tanpa adanya adaptasi dalam komunitas social maka enkulturasi tidak dapat berjalan lancer. Enkulturasi sebagai suatu proses dalam perkembangannya berjalan melalui tiga tahapan gerakan proses.
Pertama, proses enkulturasi ditandai oleh adanya pengenalan lingkungan social, penyesuaian adat, serta terjalinnya relasi atau hubungan dalam interaksi social budaya.
Kedua, proses enkulturasi ditandai dengan adanya koeksistensi dan proses menjadi plural yang terjadi di lingkungan sekitar. Tahap ini menempatkan kepribadian dasar sebagai objek legitimasi enkulturasi. Segala aspirasi, sikap, dan keyakianan mencerminkan struktur mental bersama.
Dampak keseluran dari kegagalan enkulturasi adalah adanya konflik sossial atau adanya kesenjangan social. Dengan begitu menunjukkan bahwa proses enkulturssi ditunjukkan adanya susunan kebudayaan dan lingkungan social yang bersangkutan.
Dalam pembahasan teologi, enkulturasi religi diartikan sebagai rancang bangun teologi lokal, sedangkan enkturasi religi sebagai rancang bangun lokal disebut inkulturasi.
Pada tahun 1974 dalam konsili vatikan II Gereja Katolik mengadakan inkulturasi yang diformulasikan dalam bentuk sinkretisme kebudayaan, kesenian, dan agama setempat contoh inkulturasi digunakan pada agama Nasrani Katolik di Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta.
Sinkretisme, sebagai bentuk perpaduan dua unsure budaya dan agama, memiliki berbagai jenis bentuk. Robert J Schreiter C.P.P.S. membedakan jenis sinkretisme dalam 3 kelompok: 1. Sinkretisme agama Kristen dengan agama (kepercayaan) lokal, 2. Sinkretisme percampuran unsure unsure bukan Kristen, 3. System keagamaan yang bersifat selektif dalam memasukkan unsure unsure Kristen. Secara implicit ataupun eksplisit sinkretisme berkaitan dengan usaha percampuran unsure unsure dari dua system keagamaan sampai satu titik perpaduan.
Kuatnya pengaruh budaya hindu dan budha yang diwariskan turun temurun oleh orang jawa membuktikan keberhasilan tingkat sosialisasi agama hindu dan budha.
Keberhasilan inkulturasi tidak hanya berdampak pada munculnya kesinambungan budaya dan agama. Keberhasilan inkulturasi juga berdampak pada munculnya kestabilan ideology, politik, dan social, sejalan dengan kondisi zaman penjajahan.
Peranan suku jawa sangat berpengaruh dalam membangun bangunan suci beserta patung dan ragam hiasnya. Dengan mengikuti teks suci agama Hindu dan Budha diciptakaan karya karya seni tersebut.

3.3 Gaya Hidup Masyarakat Indis
Pendekatan kultur-historis sangat membantu untuk lebih memahami peradaban masyarakat indis, termasuk gaya hidupnya. Konsep indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa. Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok – kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional jawa. Salah satu faktor yang menjadi petunjuk utama setatus seseorang ialah gaya hidupnya, yaitu berupa berbagai tata cara, adat-istiadat serta kebiasaan perilaku, dan mental sebagai ciri golongan social Indis. Keseluruhan ciri tersebut dijiwai pandangan hidup yang berakar dua budaya, yaitu Belanda dan Jawa. Dengan gaya hidup yang mewah itu mereka mempertahankan martabat dan kekeuasaan kolonialnya. Kedudukan sebagai kelompok penguasa membuat masyarakat indis berupaya menjaga prestise dan kedudukannya melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kewibawaan, kekayaan dan kebesarannya ditampilkan agar tampak lebih mewah dan agung dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan kekuasaan mereka di Nusantara.
Gambaran gaya hidup masyarakat indis dapat diikuti dan lebih dipahami lewat berbagai berita tertulis berupa buah karya para musafir, rohaniawan, peneliti alam, pejabat pemerintahan jajahan, termasuk berbagai buah karya sastera Indis (Indische belletries). Abdi atau penguasa VOC tersebut di atas dapat dibagi dalam empat golongan pokok yaitu:
a. Pegawai niaga, mulai dari jabatan opperkoopman (pedagang kepala) sampai asisten (para pembantu atau juru tulis). Kelompok ini memegang peran yang terpenting. Mereka bertugas sebagai birokrat yang mengerjakan administrasi. Kelompok ini lebih berperan setelah VOC berkembang dari organisasi perdagangan menjadi penguasa territorial yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, Srilangka dan Afrika Selatan;
b. Persoal militer dan maritime, yang terdiri atas berbagai tingkat kepangkatan dan jumlahnyapun yang paling banyak. Setatus kelompok ini lebih rendah dari kelompok pegawai niaga;
c. Personel kerohanian yang terdiri dari pendeta Calvinis (predikanten) yang cerdik pandai sampai petugas pengunjung orang sakit yang disebut zienkentrooster atau penghibur orang sakit;
d. Kelompok terendah, yaitu terdiri dari para tukang dan para pengrajin, yang secara kolektif dikenal dengan ambahtheden. Meskipun demikian, para tukang dan pengrajin ini ada yang digaji lebih tinggi dibandingkan dengan gaji serdadu atau kelasi.
A. Rumah tangga dan Rumah Tinggal Indis
Sejak awal kehadiran orang Belanda, unsur-unsur budaya dan iklim alam sekeliling sudah mempengaruhi orang-orang Eropa itu dalama membangun rumah tempat tinggal mereka di Jawa. Hal ini diketahui dari pencerminan cirri-ciri yang ada, yaitu dari adanya percampuran antara seni bangunan Barat dengan lingkungan dunia Timur yang sangat asing. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara rumah-rumah yang dibangun pada masa awal pemerintahan Hindia Belanda yang terdapat di dalam lingkungan Kastil Batavia dengan yang berada di luarnya. Kelompok perumahan yang berada di luar Kota Batavia disebut pesanggrahan atau landhuizen.
Bangunan landhuizen semula digunakan oleh orang-orang Belanda sebagai tempat tinggal di luar kota yang kemudian juga didirikan di wilayah baru Batavia (nieuve buurten). Corak rumah tinggal yang demikian ini mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota lama Baarn atau Hilversum, Belanda.
Pendirian sebuah bangunan dengan model bangunan rumah Belanda awalnya sangat terikat dengan cirri-ciri nasionalis Belanda. Hal demikian dapat di mengerti karena mereka membawa seni Belanda, kemudian secara perlahan terpengaruh oleh alam dan masyarakat sekeliling yang sangat asing bagi mereka. Ciri-ciri yang menonjol dari rumah-rumah Belanda di Batavia yang kemudian dilanjutkan anak cucunya ialah telundak (stoep) yang lebar di depan rumah.
B. Kelengkapan Rumah Tinggal
Dari peninggalan-peninggalan catatan kuno, Boedel Beschrivingen, ruang tengah yang terletak di belakang ruang depan disebut voorhuis. Pada dinding ruangan ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai hiasan, di samping piring-piring hias dan jambangan porselen. Di ruang ini terdapat juga sebuah kerkstoel, yaitu sebuah kursi untuk kebaktian (kursi gereja) khususnya untuk nyonya rumah. Di dalam zaal (ruang) diletakkan perlengkapan rumah, misalnya meja makan dan kelengkapannya serta almari tempat rempah-rempah (de spijkast) dan meja the (theetafel).
Pada masa kompeni dan Pemerintahan Hindia Belanda, zaal yang mendapatkan perhatian yang istimewa. Hiasan ukir yang sangat berharga dan mewah pada tangga seta pintu dan jendela dapat digunakan sebagai petunjuk tentang kedudukan si empunya rumah dalam susunan masyarakat kolonial Pada rumah yang berukuran besar terdapat bangunan-bangunan samping yang digunakan untuk gudang, tempat menyimpan kayu bakar, tandon air minum, beras, minyak dan sebagainya. Kemegahan rumah tinggal masyarakat Indis tersebut lebih di perkaya lagi dengan adanya perabotan rumah (meubilair) yang penuh hiasan, dipelitur warna hiram serta di cat merah menyala, coklat, hijau atau emas. Ruangan ini diperkaya lagi dengan “hiasan lepas” berupa barang-barang dari porselen lebih dimarakkan lagi dengan adanya cermin-cermin yang berukuran besar, serta tempat-tempat lilin yang berukir. Cat kusen pintu dan jendela yang berwarna ke emasan.
C. Kehidupan Keluarga Sehari-hari di dalam Rumah
Suatu kebiasaan yang umum dilakukan bangsa Pribumi Jawa pada pagi hari adalah pergi ke kali. Sudah sejak lama keluarga keturunan Belanda membuat tempat untuk mandi (badhuisje) di tepi sungai. Orang yang lahir di Belanda sebenarnya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Hal demikian itu juga berlaku bagi bangsa Portugis, termasuk juga perempuannya, khususnya para nona. Untuk menggantikan mandi mereka lebih senang mengenakan pakaian dalam yang tipis. Pada 1753 orang masih memberitakan kebiasaan seperti itu dengan menyebutkan wassen (mandi) untuk menjadikan tubuh segar.
Sebagai kebiasaan pagi setelah bangun tidur, suami-isteri para pejabat VOC duduk-duduk di serambi belakang sambil minum kopi atau teh dengan masih mengenakan pakaian tidur. Laki-laki mengenakan baju takwo dengan celana atau sarung batik. Perempuannya mengenakan sarung batik dan baju tipis warna putih berhiaskan renda putih. Kain batik yang sangat disukai adalah kain batik pekalongan. Gambaran gaya hidup mewah Indis antara lain dapat disimak pada peraturan Roorda yang menginap di Pesanggrahan Tjiampea dekat Bogor.
D. Daur Hidup dan Gaya Hidup Mewah
Daur hidup atau life cycle adalah suatu rangkayan dalam perkembangan kehidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Ada tiga peristiwa penting dalam daur kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ketiga upacara itu memiliki tujuan masing-masing. Upacara kelahiran untuk menyambut kehadiran angota baru dalam suatu keluarga Upacara perkawinan diselenggarakan dengan mewah dengan harapan perkawinan yang baru dijalani kedua mempelai berlangsung penuh keselamatan Pada masa kejayaan VOC dan hindia Belanda justru peristiwa kematian yang mendapatkan perhatian istimewa. Kematian biasa diiringi berbagai upacara mewah dan memerlukan biaya yang sangat besar.
3.4 LINGKUNGAN PERMUKIMAN MASYARAKAT EROPA, INDIS DAN PRIBUMI
A. Sumber-sumber tentang pola lingkungan permukiman
Pola pemukiman, bentuk rumah tinnggal tradisional dan bangunan tinggal Indis tercatat dalam berbagai sumber. Sumber yang paling banyak adalah berita tulis buah karya orang Jawa, Belanda (Eropa) serta orang asing lainnya.sumber lain sebagai sumber berita ialah hasil karya yang berupa lukisan, sketsa, dan grafer buah karya para musafir, peneliti alam, pejabat VOC dan dokumentasi pemerintahan kolonial. Setelah dikenal penggunaan alat pemotret, hasil fotografi merupakan sumber berita paling penting yang dapat digunakan untuk melengkapi sumber-sumber tersebut.
1. Berita dari Karya Tulis
Berita tertulis tentang wilayah pemukiman yang kemudian berkembang menjadi kota, sudah lama dikenal sebelum abab ke-19. Berupa babab kidung, maupun sera, baik yang masih berupa manuskrip maupun yang sudah dicetak dengan jumlah yang cukup banyak. Karaya tertulis ini banyak ditulis didaerah pantai (pesisir) dan pedalaman Pulau Jawa. Manuskrip tersebut atara lain : Babab Negeri Semarang, Babab Tuba, Babab Gresik, Babab Blambangan, Babab Kitho Pasoeroean, Babab Lumajang dan Babab Banten. Kitab-kitab tersebut memberitakan dan menerangkan keadaan berbagai aspek kehidupan suku Jawa , dan secara tidak lansung juga memberitakan tentang kota, rumah, adat, sejarah.
2. Sumber Tertulis Dari Bangsa Eropa
Sumber tertulis tentang pulau Jawa yang berupa cerita atau laporan perjalanan sudah ditulis orang eropa sebelum abab ke-17,18,dan ke-19. Berupa Rapporten, Missiven, Memories van Overgave (naskah serah terima jabatan), Reis beschrijvingen (catatan perjalanan), Daaghregisters (catatan harian kompeni dibatavia) dan Contracten (naskah-naskah perjajian antara kompeni dan kepala-kepala bangsa pribumi). Kebanyakan tulisan itu masih berupa manuskrip yang tersimpan digedung arsip di Indonesia dan Belanda.
3. Berita Visual
Berita visual berasal dari karya lukisan, sketsa, grafis dan potret. Lukisan garfish yaitu suatu lukisan dengan tehnik encreux relief yang dipahat pada lempengan tembagaatau perunggu sangat popular. Dalam lukisan, pelukis antara lain mengunakan cara penglihatan mata burung (vogel vlucht). Karya-karya itu dilukis oleh para pelukis yang mengikuti perjalanan, pelayaran,atau ekspedisi.
4. Karya Berupa Fotografi
Karya berupa fotografi sangat banyak tersimpan digedung KITLV Leiden dan berbagai meseum Belanda. Menurut Gedung Arsip Nasional Reppublik Indonesia di Pejaten , tersimpan tidak kurang dari 1.000,600 buah foto dari masa sebelum perang dunia II. Sejak kehadiran kappal-kapal dagang belanda pertama kedunia timur mereka sudah membawa serta para pelukis, hasil lukisan mereka berupa : kelengkapan laporan kepada Hereen Zeventien dibelanda, kenan-kenangan atau berupa hadiah keluarga, dan diperjual-belikan. Objek lukisan ialah keadaan negeri-negeri yang dikunjungi .
Dengan ditemukan tehnik memotret , makam penulisan tentang kota pemukiman menjadi tampak lebih jelas , seperti apa adanya . foto-foto yang disertakan dalam kitab ini juga mengemukakan perbandingan suatu foto dari banguna-bangunan kota lama dan foto dari kota yang sama setenah mengalami renovasi.
Pelukis pada abad ke-19 sangat jarang memalsukan identitas karena:
1. Para pelukis naturalis yang hidup pada abad ke 17 sampai abad ke 19 adalah pengikut oleh gaya periode Renaisans dan barok.
2. Beberapa penulis dan pelukis lazim menggambarkan bangunan rumah serta pemandangan alam sekitarnya.
Sayang sekali peninggalan seni lukisn pada benda-benda keramik, di Indonesia tidak dikenal, bahkan sampai sekarang tidak ada tradisi melukis banguna atau rumah pada karya keramik seniman dan pengerajin Indonesia .salah satu pelukis belanda yang paling banyak melukis seni bangunan gaya indis yaitu JRach.
Dari hasil lukisan dari para pelukis , Pengertian kota dan macam-macam jenis kota sudah ditulisnoleh beberapa sarjana, yang menarik ialah karya tulis peter JM kota dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
1. Kota awal Indonesia
2. Kota Indis
3. Kota kolonial
4. dan kota modern
Pola sosial budaya dibedakan oleh :
1. Kota-kota pedalaman dengan cirri tradisional, dan religious.
2. Kota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdangan.
Ada tiga ciri yang harus diperhatikan untuk dapat memehami struktur ruang lingkup social kota kolonial yaitu: Budaya, Teknologi dan Struktur.
Dengan kehadiran orang Eropa dikabupaten-kabupaten, berkat perluasan system pemerintahan kolonial yang lengkap dengan birokrasinya, dank arena jarak Belanada dan Indonesia makain dekat akibat dibukanya terusan Suez pada 1870, wajah kota mulai berubah.
Kelompok-kelompok pemukiman, sesuai dengan lingkungan kelompok-kelompok suku, terpisah dengan jelas. Dalem kabupaten sebagai replica rumah penguasa tertinggi pribumi (raja) menghadap ke alun-kalun dengan menghadap pohon beringin ditengahnya. Pengaruh belanda dan Mazhab-mazhab Eropa berhasil memperkuat dan member alat untuk menangulangi kekurangan-kekurangan dalam cara membangun kota atau rumah, dan membantu dalam hala memberikan petunjuk tentang kontruksi banguna, organisasi, dan metode dalam membangun rumah pada masyarakat Jawa. Susunan dan bentuk bangunan di kota-kota pun bisa pula diubah dan diatur sesuai dengan selera Eropa. Dengan demikian, para pejabat, priyayi baru atau priyayi yang baru diangkat oleh pemerintahan kolonial diharuskan mengikuti peraturan dan perundang-undangan. Disamping itu, pihak penguasa kolonial tidak secara keseluruhan mangabaikan atau meniadakan kedudukan para tukan atau para ahli bangunan local (pribumi). Oleh karena itu, diadakan upaya untuk saling pengertian. Yaitu tukang-tukang pribumi perlu dibekali dan dikenalkan dengan seni bangunan dan penegtahuan Barat. Dibangunlah rumah-rumah para priyayi atau pejabat kolonial oleh BOW yang dilakukan oleh proyek-proyek asingdibawah pimpinan bangsa dan ditambah beberapa tenaga yang didatangkan deari Eropa. Ahli-ahli bangunan Jawa tradisional mempunyai organisasi tersendiri. Yang menarik salah satunya adalah tradisi yang bertumpu pada kewajiban sambatan (gotong royong), yang dilakukan pada saat mereka membanguna tempat tinggal kepala-kepala desanya.
Unsur utama kehidupan seni bangunan Jawa adalah adanyakeharmonisan dengan alam sekitar. Sering perjalanan waktu terdapat beberapa pengaruh budaya asing
Ada empat golongan kebangsaan menurut Maclaine Pont yaitu ;
1. Anak negeri atau bangsa pribumi
2. Orang yang disamakan dengan anak negeri (sesuai dengan Sjart pemerintahan Hindia Belanda pasal 109)
3. Orang Eropa, dan
4. Orang-orang yang disamakan dengan bangsa Eropa (gelijk gesteld).
Orang yang disamakan dengan anak negeri ( golongan kedua) yaitu orang cina, arab, koja, dan keeling, mereka itu dinamakan orang asing dibawah angin.
Tata pemukiman penduduk kota pada abad ke 19 diJawa menunjukan secara jelas tentang adanya macam-macam golongan masyarakat kolonial.
1. Dibangian kota tertentu terdapat kompleks rumah tembok berhalaman luas dengan bangunan beratab tinggi ini adalah pemukiman golongan Eropa atau golongan Elite pribumi.
2. Daerah pecinan umunya merupakan kelompok bangunan padat penduduk dan rapat satu sama lain, rumahnya beratapkan pelana lengkung , dan bagian depan rumah digunakan untuk berjualan.
3. Kampun adalah tempat tinggal khusu bagi golongan pribumi.
D. Upaya Mencukupi Kebutuhan Perumahan Kota.
Perkembangan dan perluasan kota-kota besar dijawa diberbagai tempat menimbulkan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota. Pada 1930 perkarangan dan ukuran rumah dibuat sesuai dengan keperluan, dan dengan pertimbangan, antara lain:
a. Makin mahalnya harga tanah dan material,
b. Orang mulai menyukai hal-hal yang praktis dan memenuhi segala keperluan dan selera,
c. Susuna keluarga inti dianggaplbih penting sehingga mempersempit keluarga inti untuk ngenger , ngidung, magesari,
d. Karena keluarga indies kebanyakan adalah pegawai pemerintah yang kemungkinan dipindah-pindah atau karena promosi perkerjaan hal itu mengakibatkan orang lebih suka membuat rumah
E. Penggunaan Unsur Seni Tradisional Dalam Rumah Gaya Indis
Upaya untuk mewujudkan penggunaan unsure-unsur seni banguna tradisional setempat khususnya jawa telah dilontarkan oleh seorang penulis dengan nama samara reflector didalam Indich Bouwkundinng Tijdschrift, ia menyebutkan Ch, Meyll bertutur bahwa para arsitek Ingris di India berhasil dalam ciptaan-ciptaan nya dengan mendapat ilham dan mencotoh arsitektur tradisional pribumi India yang ada disekeliling mereka. Di Singapura, para arsitek menaruh perhatian pada hal semacam itu. Reflector menyetujui dan mengharapkan, hendaknya para ahli Hindia Belanda terpanggil dan sadar untuk bangun dan mengambil sumber inspirasi dari bumi. Hendaknya karya-karya yang merupakan ilham dari orang Jawa yang berbakat.
Bangsa Hindia Belanda terdapat dua kelompok pendapat tentang penggunaan atau pemakaian seni budaya Jawa dalam bangunan. Kelompok pertama, mengutamakan pemindahan dari negeri ibu, (Nasional Belanda) diberlakukan daerah koloni , khususnya jawa, alasannya adalah ialah kemajuan tehnik bangunan tidak mudah untuk diduga sebelumnya. Kelompok kedua, karena merasa dipisahkan oleh kenyataan adanya pertimbangan politik.

3.5 RAGAM HIAS RUMAH TINGGAL
A. Tentang Hiasan Rumah Tinggal
Marcus Vitruvius Pollio adalah orang yang pertama kali mencetuskan konsep ini,yaitu abad pertama sebelum masehi. Karyanya yang berjudul De Architectura Libri Dacem diduga telah mengilhami banyak orang.
Menurut Marcus Vitruvius Pallio, tiga unsur yang merupakan factor dasar dalam aritektur yaitu: (a) kenyamanan (convenience); (b) kekuatan atau kekukuhan (strength); (c) dan keindahan (beauty). Ketiga factor tersebut saling berhubungan dan selalu hadir dalam struktur bangunan yang serasi. Ketiga factor tersebut merupakan dasar penciptaan arsitektur yang memiliki estetika.
Abad ke-19 dikenal sebagai periode eklektik yaitu suatu periode gaya hidup yang menerapkan cara pandang serba praktis. Orang lebih mementingkan fungsi, sehingga ornament atau ragam hias yang tidak penting.
Sejak abad ke-20 banyak benda tidak lagi memerlukan hiasan. Demikian pula pada desain rumah tinggal. Rumah dan interiornya tidak perlu dihias lagi, karena dianggap tidak perlu. Hal ini menjadi dilema, disatu sisi barang yang di produksi secara massal masih perlu hiasan. Tetapi sebagian orang masih berfikir paling penting dari suatu benda adalah kegunaan nya (fungsionalisme).
B. Bentuk Atap dan Hiasan Kemuncak
Bangunan rumah Jawa memiliki bermacam-macam bentuk atap. Nama atau gaya suatu bangunan rumah justru ditentukan menurut masing-masing bentuk atapnya, misalnya: rumah bentuk joglo, limasan tajug, kampong dan sebagainya. Bentuk kampong (omah kampong) adalah bentuk rumah rakyat kebanyakan. Rumah kampong adalah bangunan rumah yang paling sederhana.
Bentuk atap bangunan rumah merupakan penentu gaya bangunan rumah Jawa dan Indonesia pada umumnya. Adapun Eropa (Barat) menggunakan tiang atau kepala tiangsebagai penentu ciri suatu gaya bangunan. Hal ini merupakan kelanjutan pengaruh gaya bangunan Yunani dan Romawi kuno, misalnya gaya Doria, Ionia, Korinthia, dan sebagainya.
Hiasan atap atau kemuncuk bangunan rumah tradisional Jawa sangat sederhana, demikian pula dengan hiasan atap dan kemuncak bangunan rumah gaya indis pada awal abad ke-20, sebelum pengaruh seni Eropa melanda pulau Jawa. Di Hindia Belanda pemakaian ragam hias bernapaskan Eropa juga, tetapi tanpa pemahaman arti simboliknya.

B. Hiasan Kemuncak Tadhah Angin dan Sisi Depan Rumah

Banyak rumah penduduk di Demak, Jawa Tengah bubungan atapnya terdapat hiasan berupa deretan lempeng terracotta yang diwujudkan seperti gambar tokoh-tokoh wayang, berderet-deret dengan gambar gunungan tepat ditengah-tengah. Rumah-rumah Minangkabau berkemuncak seperti tanduk kerbau disamping hiasan pada bagian-bagian dindingnya seperti halnya rumah batak karo. Sementara itu, rumah Sa’ dan taroja di Sulawesi penuh dengan pahatan pada serambi depan dengan perwujudan kepala kerbau sebagai hiasan utama. Kerbau merupakan binatang keramat pada masa prasejarah. Sampai sekarang kepala kerbau atau tanduknya masih banyak digunakan sebagai hiasan. Tradisi menyebutkan bahwa hiasan kepala kerbau atau tanduknya adalah lambing kesuburan tanah dan juga sebagai penolak roh-roh jahat.
Pada abad ke-15 bangsawan-bangsawan tinggi menggunakan widvaan sebagai hiasan mahkota (kroon). Ada pula yang menaruh hiasan berwarna keperakan dan pada sisi sudut persegi empat diisi dengan hiasan rozet, tetapi lazimnya diisi dengan lambing keluarga pemiliknya. Di Eropa sekarang, khususnya dinegri Belanda berupa petunjuk mata angina dengan bermacam-macam bentuknya seringkali menunjukkan macam usaha atau pekerjaan pemiliknya.
Tentang hiasan kemuncak bangunan sacral, seperti masjid, gereja, pura atau candi, mempunyai arti sendiri, baik sebagai symbol maupun kepercayaan dan keagamaan. Kemuncak bagunan masjid di Jawa lazim disebut mustaka atau mustika masjid. Sebelum atap kubah banyak digunakan seperti masa sekarang. Bangunan candi mempunyai hiasan kemuncak ratna, stupa atau kubus. Hiasan bangunan kemuncak gereja setelah zaman Gotik berakhir, tidak selalu berupa palang salib, tetapi dapat pula berupa tongkat yang runcing pada ujungnya, sebagai lambing menunjuk ke tempat suatu arah diatas yang berarti “tinggi” atau “Yang Esa”.
Hiasan kemuncak dengan bagian sisi depan rumah gaya indis Jawa tidak terlalu banyak digunakan, baik pada bangunan dikota maupun rumah dipegunungan atau pedesaan. Hal demikian berbeda dengan bangunan di negeri Belanda, yang satu sama lain berlomba dalam hal keindahan hiasan. Umumnya gaya indis lebih sederhana, kecuali rumah orang Cina kaya. Seperti rumah-rumah di Eropa, bangunan rumah di negeri Belanda (topgevels) dan kemuncak depan (geveltoppen) mempunyai variasi hiasan yang bermacam-macam.
Hiasan pada kemuncak tadhah angin (tympanon atau geveltoppen) bervariasi dari hiasan sederhana berbentuk sumbu kemuncak nokspil hingga ornament-ornamen yang bagus. Tympanon ini berbentiuk segitiga, bagian atas disebut voorschot yang terdiri atas papan-papan kayu yang disusun vertical. Hingga abad ke-19 voorschot ini terbuat dari bahan kayu. Dari lukisan kuno dapat diketahui bahwa hiasan pada bagian voorgevel ini merupakan tempat hiasan utama, khususnya pada geveltop atau makelaar, yaitu balok-balok vertical dari atas puncak (nok) pada windveren sampai kebawah hingga dasar voorschot.
Sejarah lambing-lambang yang dipahat kan pada papan lis tadhah angina ( tympanon) dapat dibedakan menjadi tiga babakan waktu.
(1) Lambing dari masa Pra-Kristen (zaman kekafiran jerman), antara lain diwujudkan dengan gambar pohon hayat, kepala kuda atau roda matahari, yang kemudian pada masa Kristen ditambah dengan lambing salib.
(2) Masa Kristen berupa lambing gambar salib, gambar hati (hart), jangkar (angker), yaitu lambing kepercayaan, harapan,dan kejujuran.
(3) Khusus lambing-lambang dari agama Roma Khatolik, yaitu berupa miskelk dan hostie.

1. Macam-macam Hiasan Kemuncak dan Atap Rumah
a. Penunjuk Arah Tiupan Angin (windwijzer)
Penunjuk arah tiupan angin (windwijzer) disebut juga windvaan, dalam bahasa Perancis disebut girovettes dan apabila dapat berputar-putar wire-wire.
b. Hiasan Puncak Atap (Nok Akroterie) dan Cerobong Asap Semu
Bentuk hiasan puncak atap (nok acroterie) dulu menghias atap rumah petani. Hiasan ini terbuat dari daun alang-alang (stroo) sebagai prototype, kemudian pada rumah indis dibentuk dengan bahan semen.
c. Hiasan Kemuncak Tampak Depan (Geveltoppen)
Bentuk segitiga pada depan rumah disebut voorschot. Seringkali voorschot itu dihias dengan papan kayu yang dipasang vertical. Ragam hias yang dipahat seringkali memiliki arti simbolik berupa huruf-hurug yang distilasi sehingga merupakan motif ragam hias (renenschrift).

2. Ragam Hias pada Tubuh Bangunan (Topgevel)
Selain terdapat dikemuncak (topgevel) dan tadhah angin (tympanon), ragam hias juga terdapat pada bagian tubuh bangunan, misalnya pada lubang-lubang angina (bovenlicht) yang terletak diatas pintu atau jendela. Lubang angin pada rumah gaya indis di Jawa dihias sederhana saja, yaitu lukisan anah panah yang ujung-ujungnya mengarah kearah pusat. Itupun hanya terbuat dari bahan kayu. Yang tampak menonjolialah ragam hias pada bangunan rumah pejabat pemerintah seperti gubernur, residen, asisten presiden, bupati, dan kontrolir wilayah, yaitu ragam hiasa pada batang-batang tiangnya.
Gaya Doria digunakan karena sesuai watakdan jiwa bangsa Doriayang berjiwa militer, yaitu kokoh, kuat, perkasa, sekaligus sebagi lambang kekuasaan. Gaya Ionia sesuai dengan wtak bangsa ionia yang menyukai keindahan dan keserasian. Mereka menciptakan bagunan penuah dengan hiasan keindahan namun tidak meninggalkan kekuasaan.
Gaya korinthia diciptakan oleh para pengusaha kota korinthia yang kaya dan makmur pada abad ke-5 sebelum masehi. Untuk menunjukan kekayaan, kemakmuran dan kemewahan, para pengusaha kaya dari kota korinthia menciptakan tiang bangunan gaya korinthia yang melambangkan keindahandan kemewahan.


3.6 Kesimpulan Dan Saran
Kehadiran berbagai bangsa di kepulauan Nusantara memperkaya kebudayaan Indonesia. Kehadiran bangsa Eropa, khususnya Belanda, yang kemudian menjadi penguasa yang menimbulkan percampuran yang disebut budaya indis.
Kebudayaan Indis merupakan hasil perpaduan dua kebudayaan, yaitu Indonesia dan Eropa, kebudayaan campuran ini cukup mencakup ke tujuh aspek unsur universal bangsa, seperti yang telah dimiliki semua bangsa didunia. Kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan prasejarah, kebudayaan hindu budha dan kebudayaan islam di Indonesia.
Istilah Indis patut digunakan untuk menandai kebudayaan Indonesia modern yang meliputi rentang waktu sejak kehadiran orang Belanda sampai dengan abad ke-20, bersaamaan dengan runtuhnya Hindia Belanda tahun 1942. Kebudayaan Indis ada secara positif berperan penting dalam kebudayaan Indonesia modern.
Istilah “Indis” yang dirasa berkonotasi sebagai hasil kebudayaan yang rendah dari masa penjajahan tidak perlu dirisaukan lagi, sebab Indonesia telah merdeka dan memproklamasikan kemerdekaannya.
A. Berhubungan dengan seni karya budaya jasmani

1. Seni bangunan
Sampai akhir abad ke-20, banyak peninggalan seni bangunan gaya indis, baik bangunan rumah tinggal, maupun bangunan rumah tinggal, maupun bangunan (gedung perkantorn, gedung pertemuan, benteng, rumah tinggal, rumah dinas pejabat, stasiun, jembatan dan sebagainya) banyak yang sudah hancur atau digusur.

2. Karya seni rupa dan seni kerajinan
Barang-barang karya seni rupa gaya Indis yang terdiri dari seni lukis, seni patung (relief) dan seni kerajinan, (termasuk seni jauhari, yaitu kerajinan membuat perhiasan dari emas, perak dan batu mulia) tidak banyak di museum-museum di Indonesia, akibatnya cucu bangsa kurang mengenal berbagai karya seni dan seni jauhari nenek moyangnya.

B. Berhubungan dengann karya budaya rohani

Hasil budaya dari masa Hindia Belanda oleh sebagian orang ada yang dianggap sebagai sesuatu yang negative, misalnya : merendahkan derajat orang kulit berwarna, bahkan mendidik jiwa menjadi feudal dan berfikiran sempit. Tetapi banyak juga peninggalan budaya positif dan budaya positif itu patut untuk diteruskan dan dikembangkan di Indonesia.















BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1. Kebudayaan indis adalah percampuran budaya antara budaya jawa dan belanda dimana budaya Indis ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang pada pejabat Belanda. Saat itu, ada larangan membawa isteri dan mendatang kan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Hal ini mendorong lelaki Belanda menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah pencampuran darah yang melahirkan anak-anak berdarah campuran, serta menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi atau gaya Indis.
2. Gaya Hidup Masyarakat Indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok – kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional jawa. Salah satu faktor yang menjadi petunjuk utama setatus seseorang ialah gaya hidupnya, yaitu berupa berbagai tata cara, adat-istiadat serta kebiasaan perilaku, dan mental sebagai ciri golongan social Indis
3. Berhubungan dengan seni karya budaya jasmani yaitu dalam Seni bangunan,banyak peninggalan seni bangunan gaya indis, baik bangunan rumah tinggal, maupun bangunan rumah tinggal, maupun bangunan (gedung perkantorn, gedung pertemuan, benteng, rumah tinggal, rumah dinas pejabat, stasiun, jembatan dan sebagainya) banyak yang sudah hancur atau digusur.
4. Karya seni rupa dan seni kerajinan terdiri dari seni lukis, seni patung (relief) dan seni kerajinan, (termasuk seni jauhari, yaitu kerajinan membuat perhiasan dari emas, perak dan batu mulia) tidak banyak di museum-museum di Indonesia, akibatnya cucu bangsa kurang mengenal berbagai karya seni dan seni jauhari nenek moyangnya.

5. Berhubungan dengann karya budaya rohani Hasil budaya dari masa Hindia Belanda oleh sebagian orang ada yang dianggap sebagai sesuatu yang negative, misalnya : merendahkan derajat orang kulit berwarna, bahkan mendidik jiwa menjadi feudal dan berfikiran sempit. Tetapi banyak juga peninggalan budaya positif dan budaya positif itu patut untuk diteruskan dan dikembangkan di Indonesia.
Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda.
















DAFTAR PUSTAKA
Soekirman, djoko. Kebudayaan Indis, Komunitas bambu, Depok , 2011
http://syalsya.blogspot.com/2010/10/psikologi-indigenus-dan-indigenisasi.html
bigsidik.blogspot.com/2011/09/psikologi-lintas-budaya.html
http://christina5handayani.multiply.com/calendar/item/10043/Kuliah_Psikologi_Budaya_1?&show_interstitial=1&u=%2Fcalendar%2Fitem